Islam kian hari kian dikenal banyak orang. Dengan kecanggihan teknologi, pesan-pesan ajaran Islam lebih mudah disebar dan ditemukan. Itu merupakan hal yang sangat layak disyukuri.

Saat ini, kita sebagai pemeluk agama yang haq itu dianugerahi berbagai sebaran pesan-pesan positif untuk menjalani agama Islam. Konten-konten digital (ataupun media cetak) yang dipenuhi ajakan untuk berislam, menjadi pribadi sholih, atau misalnya kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Saya ambil contoh sebuah konten berisikan ajakan hijrah, misalnya dengan gambar tahapan mengenakan kerudung atau jilbab. Dari gambar kartun perempuan berjilbab sedang, lalu nomor dua perempuan berjilbab lebar sampai ke bawah pinggang, dan terakhir nomor tiga perempuan yang jilbab panjang ditambah cadar.

Dalam meme tersebut juga diselipi pertanyaan “sudah sampai manakah hijrah anda?”. Seakan menunjukkan bahwa bercadar adalah puncak hijrah bagi perempuan. Dan memberikan pesan rahasia seakan bahwa perempuan muslimah yang belum bercadar belum sempurna Islamnya.

Sementara bagi laki-laki juga dibuatkan gambar tahapan hijrah. Ilustrasinya dibuat semisal; pertama dimulai dari wajah tanpa jenggot hingga berakhir pada tampilan berjenggot lengkap dengan celana congklang di atas mata kaki dan berpeci.

Alhamdulillah. Itu adalah hal yang perlu disyukuri dan didukung. Sebuah ajakan positif dalam Islam, apalagi memang ada dasarnya jika diteliti lebih jauh di dalam literatur Islam.

Di samping itu nilai-nilai dakwah yang ditontonkan sangat sesuai dengan sebuah hadits Nabi saw;

Ballighuu ‘anni walaw aayah!”,

Sampaikanlah dariku (Nabi saw) walupun cuma satu ayat!.

Akan tetapi ada celah yang penting untuk tidak dibiarkan. Dalam hal ini, tujuan tulisan ini ialah menyampaikan gagasan yang perlu dan bisa melengkapi konsep hijrah yang saat ini sangat masif disebarkan.

Setidaknya tulisan ini bentuk dari aplikasi cuplikam ayat “Bermusyawarhlah dengan mereka dalam sebuah perkara” Q.S. Ali Imran 159.

Celah yang penulis maksud adalah bahwa dalam proyeksi setiap ketaatan dalam agama Islam –yang tentu terkait dengan ajakan hijrah– sangat membutuhkan satu hal yang disebut ilmu atau pengetahuan.

Akan halnya konten-konten ajakan berhijrah, tidak ada masalah di dalamnya. Yang masih dipertanyakan ialah apakah dengan praktik perubahan lahiriah saja keislaman seseorang menjadi sempurna? Dan apakah hijrah itu diukur hanya dengan penampilan lahir?

Jika jawabannya tidak, berarti ada kesepakatan dengan saya. Jika jawabannya iya, maka mohon diteliti kembali. Karena ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa Allah itu menilai apa yang ada di dalam hati, bukan apa yang terlihat dari penampilan jasmani, H.R Muslim no. 2564.

Bilamana ada seseorang yang berniat hijrah dari yang tadinya kurang baik menjadi lebih baik, terutama terkait ajaran berpenampilan, yang menurutnya syar’i. Maka lekas hijrahlah. Itu sangat baik.

Akan tetapi ada hal yang juga penting untuk dijadikan bekal hijrah, yaitu ilmu. Bahkan seharusnya sebelum hijrah, sesorang mestinya telah mengantongi cukup pengetahuan tentang perihal ajaran yang akan ia hijrahi itu.

Terkait hal ini, Syeikh Ibnu Ruslan dalam kitab Zubad mengatakan, “Barang siapa ber’amal tanpa ilmu, maka amalnya tak diterima.” Sungguh luar biasa kan? Menjdi sia-sia jika ada orang merasa telah melakukan hal yang menurutnya baik padahal aslinya tidak.

Al-Qur’an sendiri juga memperingatkan akan hal ini dalam sebuah ayat, “Katakanlah wahai Muhammad, ‘Apakah perlu Kami beri tahu pada kalian tentang orang-orang yang paling sia-sia amalnya. (Yaitu) orang-orang yang tak berguna perbuatan mereka didunia, sedangkan mereka mengira telah melakukan yang sebaik-baiknya.” Q.S Al-Kahfi 103-104.

Ayat di atas menurut penafsiran Ibnu Katsir mencakup golongan yang umum, alias siapapun masuk kategori itu. Tak peduli zaman Nabi atau zaman sekarang. Termasuk juga orang yang mengira telah berhijrah, padahal sebenarnya keberhijrahannya belum dianggap apa-apa di sisi Allah.

Na’udzubillahi min dzalik.

Nah, maka untuk melengkapi fenomena hijrah. Seharusnya perlu diciptakan dan digalakkan juga fenomena iqra’, membaca. Mengkaji Islam secara mendalam. Membahas ajaran dan amalan Islam dengan detail.

Misalnya ajaran tentang menutup aurat. Dalam dunia akademis Islam, banyak pilihan cara menutup aurat. Dari yang cukup menutup dada tanpa menutup kepala hingga yang cadar menutupi mata sekalipun. Semua itu merupakan ijtihad ulama yang memang tersedia untuk tingkatan kemampuan dan kesediaan seorang muslim.

Atau ambil contoh penampilan laki-laki. Bahwa yang dianggap mengikuti ajaran Islam adalah yang berjenggot dan memakai celana di atas tumit, congklang. Padahal di luar sana banyak pendapat syar’i juga yang menyelisihi itu, yang tak bisa juga dikatakan tidak Islami.
Ilmu Allah sangatlah luas. Ditimbang dengan air dari semua samudera di dunia ini pun tak kan cukup. Begitupun syari’at Allah sangatlah luas. Diukur dengan semua mazhab pun tak bisa.

Amat disayangkan jika populernya hijrah tak dibarengi dengan populernya mendalami ilmu. Hingga nanti pelaku hijrah menutup diri dari ilmu lain yang dianggapnya tidak sama dengan ilmunya. Bahkan pada akhirnya tergesa-gesa bersikap menyalahkan, karena mengukur hijrah orang lain dengan hirah versi dirinya. Nabi bersabda “Tergesa-gesa itu dari setan. Dan pelan bersahaja itu dari Tuhan”, alhadits aw kama qaala.

Sesungguhnya semua hamba Allah itu sedang berhijrah, melakukan perjalanan menuju pulang ke pangkuan-Nya.

Maka hal yang perlu disadari untuk keberhijrahan adalah bahwa di luar sana masih banyak ilmu syari’at yang mungkin belum diketahui. Bisa saja dalam hijrahnya sendiri, atau corak keislaman lain yang dipegang muslim lian.

Lalu paling tidak memiliki sikap terbuka dan menerima adanya perbedaan versi hijrah dari tiap-tiap hamba, jika menemuinya.

Sekali lagi, bahwa fenomena hijrah yang semakin populer merupakan hal positif. Jika ada seorang muslim melihat perkara baik, maka menurut Allah itu juga baik. Hanya saja masalahnya belum selesai dengan adanya perubahan dari diri sendiri tanpa disertai kesadaran akan pentingnya belajar dan berilmu. Bukankah wahyu pertama itu perintah untuk membaca, bukan perintah untuk berhijrah?

Ini sangat penting untuk dihayati, agar hijrah tak jadi sia-sia.

Wallaahu a’alam.

*Mahasiswa Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Annur Yogyakarta.

Komentar