“Agama Islam yang disebarkan oleh Nabi Muhammad Saw. dari Makkah hingga ke Madinah adalah Islam yang sejati. Islam yang asli ini memancarkan budaya Islam syar’i. Yakni bentuk pemahaman dan pengamalan Nabi atas agama yang belum dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya lokal; akan tetapi justru mengubah budaya Arab zaman jahiliyah” (Prof Dr. Simuh, 2003: 7).
Kutipan di atas berasal dari almarhum guru besar di IAIN Sunan Kalijaga (kemudian sekarang menjadi UIN Sunan Kalijaga), dalam bukunya yang berjudul Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003: 7). Khusus saya kutip pada bagian awal, yang menjadi permulaan di bab dua dari buku itu, karena berkaitan dengan pandangan dasar awal tentang dilansirnya Islam sejati=Islam asli=Islam syar’i=Islam yang tidak dipengaruhi unsur-unsur lokal, yang dicontohkan pada zaman Nabi; dan menjadi dasar dari cara melihat tentang tasawuf, Islam dan Jawa di halaman-halaman berikutnya. Pada halaman lain, sang profesor menyebutkan bahwa “Islam yang asli adalah yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, serta pengalaman yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw” (2003: 9).
Menurut sebagian orang, penggunaan istilah Islam yang asli=Islam syar’i, seperti di antaranya diwakili Prof. Dr. Simuh, merupakan suatu yang mewakili cara memahami Islam. Akan tetapi istilah yang bertendens “Islam yang asli=Islam syar’i”, tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits, sebagai sumber yang diacu oleh masyarakat muslim, dan karenanya tidaklah memadai untuk menggambarkan Islam. Al-Qur’an dan hadits justru menyebut melansir dengan menggunakan istilah Kanjeng Nabi Muhammad shollallohu `alaihi wasallam sebagai rahmatan, nadziran, uswah, huda, syifa, dan li’utammima makarimal akhlaq atau liutammima shalihal akhlaq.
Islam yang asli itu, menurut sang profesor, disebut dalam kutipan di atas sebagai Islam yang tidak dipengaruhi unsur-unsur lokal. Penanda untuk menunjukkan Islam pada zaman Nabi yang seperti ini, tidak didasarkan pada argumentasi yang cukup, karena justru, sepanjang saya mengkaji Islam, dan beberapa kajian yang saja baca, jutru Islam pada zaman Nabi sangat kotekstual dengan tradisi setempatnya. Beberapa argumentasi ingin saya tunjukkan, begini:
Pertama, Al-Qur’an mengambil istilah non Arab yang kemudian di-Arabkan (dianggap sebagai bahasa Arab), untuk mengakomodasi istilah yang belum ada di dalam kosakata Arab. Di antara istilah yang diserap adalah kata kafur (yang lain ada misykat, sijjil, dan beberapa lagi), seperti yang ada dalam ayat: “Bahwa sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan (al-abror) minum dari gelas yang campurannya adalah air kafur” (QS. al-Insan [76]: 5). Kata-kata sejenis kafur (yang berasal dari Nusantara) ini disebut dengan al-mu`arrab, memang ada beberapa pendapat. Imam Jalaluddin as-Suyuthi menulis kitab al-Muhadzab fima Waqo`a fil Qur’an minal Mu`arrab (Yang Bijak pada Apa yang terjadi dalam Al-Qur’an dari kata-kata yang Diserap ke dalam Bahasa Arab).
Kitab itu kemudian dimasukkan dalam al-Itqon fi `Ulumil Quran, pada pasal “An-Nau`u as-Samin wa ats-Tsalasun fi Ma Waqo’a fihi bi Ghoiri Lughotil `Arab/Jenis Ketigapuluh Delapan tentang Apa-Apa yang ada dalam Al-Qur’an selain Bahasa Arab” (Al-Itqan, I: 205-214). Hikmah dari penyerapan yang dilakukan Al-Quran tentang kata kafur, menunjukkan Islam memberi tempat kepada unsur-unsur tradisi luar, termasuk kepada tradisi-tradisi lokal, sejauh dapat diterima manqul dan mafhumnya berdasarkan Al-Qur’an, hadits, dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya. Cara ini disebut dengan cara al-akhdzu, mengambil dari kebudayaan lain dengan cara disaring, termasuk terhadap kebudayaan dan hasil-hasil dari peradaban baru tentunya.
Kedua, selain dengan al-akhdzu, memang ada yang menggunakan penggantian, di antaranya disebut soal pernikahan, seperti dalam Shahih Bukhari, disebutkan begini: “Pernikahan di masa sebelum Islam (disebut jahiliyah) ada empat cara …(beliau lalu menyebutkannya)… jenis pernikahan yang lain (jenis ketiga) yaitu sejumlah orang yang jumlahnya kurang dari 10 berkumpul lalu masuk menemui seorang perempuan. Setiap mereka menyetubuhinya. Setelah beberapa waktu sejak malam pengantin itu, jika ternyata ia hamil, ia pun memanggil semua suaminya. Tidak ada seorang pun dari suaminya yang dapat menghalangi, hingga semua suaminya berkumpul. Wanita itu berkata: ‘Wahai suamiku, kalian sudah tahu apa yang kalian telah lakukan kepadaku dan itu memang sudah hak kalian. Dan sekarang aku hamil. Dan anak ini adalah anakmu wahai Fulan’. Wanita itu menyebut salah satu nama suaminya sesuka dia, lalu menasabkan anaknya pada suaminya tersebut. Tidak ada seorang pun dari suaminya yang dapat menghalangi” (HR. Bukhori, No. 5120).
Al-Qur’an kemudian melarang pernikahan yang semacam itu, dan melarang pula menikahi perempuan yang masih memiliki suami, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa [4]: 24. Hikmah dari cara ini, adalah hubungan dengan kebudayaan lain, yang berhubungan dengan Islam, ada yang berdimensi penggantian ini.
Ketiga, dengan cara islahiyah, perbaikan dari apa yang sudah ada, dengan diberi nilai-nilai yang baik, diubah seperlunya, seperti disebutkan dalam beberapa penafsiran tentang ayat: “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. al-A’raf [7]: 28).
Berhubungan dengan ayat ini, dalam beberapa tafsir disebutkan bahwa tradisi orang Arab dalam bertawaf salah satunya adalah berlelanjang, seperti disebutkan Ibnu Abbas: “Mereka bertawaf di dalam ka’bah dengan bertelanjang, maka dicegahlah atas perbuatan itu”; beberapa pendapat lain, ada yang menambahkan bahwa laki-laki Arab bertawaf siang dengan bertelanjang dan perempuan bertawaf malam dengan bertelanjang, dan mereka mengatakan tradisi itu dengan: “Inna wajadna `alaiha ab’ana wallohu amarona biha/kami menemukan hal itu dari bapak-bapak kami dan Alloh memerintahkan dengannya” (Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Ad-Durrul Ma’tsur fit Tafsir al-Ma’tsur, VI: 356).
Al-Qur’an kemudian mengambil tradisi tawaf, tetapi diberi makna baru dan diperbaiki dengan menutup aurat sesuai pakain haji dan mengucapkan talbiyah, sebagai bagian dari tradisi haji. Hikmah dari ini adalah, ada bagian-bagian dari tradisi masyarakat non-Islam (termasuk budaya lokal), dapat diambil untuk diperbaiki dan mengisinya dengan nilai-nilai yang baik, dan dijadikan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Islam.
Keempat, ada yang dimensinya bersifat mengubah perlahan, tetapi tujuannya adalah dihilangkan, seperti disebutkan dalam salah satu ayat Al-Qur’an: “Sesungguhnya zakat-zakat itu (ash-shodaqat), hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [19]: 60).
Dalam ayat ini, zakat yang diberikan di antaranya kepada budak, adalah termasuk bagian dari kewajiban, sehingga disebut pada ayat itu sebagai “faridhotan minallah”. Hanya saja, perbudakan sebagai sistem dalam masyarakat telah mengakar kuat, dan upaya memerdekaan budak itu, tidak bisa dilaksanakan secara frontal, sehingga dilakukan bertahap melalui berbagai cara: denda melanggar perintah tertentu harus memerdekan budak; kewajiban zakat diberikan kepada “wa fir riqab”, agar mereka bisa merdeka; dan pada saat yang sama, perbudakan masih berjalan sebagai bagian dari sistem yang ada, sehingga ada ayat-ayat yang berkaitan dengan tawanan perang, yang kemudian mereka ini dijadikan budak.
Tujuan utamanya adalah menghilangkan perbudakan, dan hikmah dari cara ini, adalah ada budaya-budaya yang mungkin dilihat, untuk diubah, tetapi secara pelan-pelan, dengan menghilangkan tradisi semacam itu. Ini berbeda dengan cara ishlahiyah, yang tetap mempertahankan tradisinya, dengan cara mengisinya sesuai dengan nilai-nilai yang dikehendali Al-Qur’an dan hadits Nabi, dan tujuan-tujuan kemaslahatan.
Dengan melihat beberapa argumentasi ini, menjadi semakin jelas, bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu memang diutus sebagai rahmatan, bukan untuk menghapus seluruh kebudayaan yang ada. Bahkan unsur-unsur lokal dan hal-hal baru diperlukan, bila memang ada mashlahatnya, sehingga umat Islam bisa mengambilnya; unsur-unsur lokal bisa diperbaiki, bila ada maslahatnya dengan cara islahiyah, bila menuntut hal yang demikian; unsur-unsur lokal bisa diubah, bila memang tidak ada maslahatnya; dan unsur-unsur lokal ada yang bisa diperbaiki secara gradual, dan pada saatnya akan hilang, karena sudah tidak dihendaki zaman dan aspek kemaslahatannya tidak ada lagi.
Itupun masih harus dilihat, yang berhubungan dengan umat Islam dan mau diamalkan umat Islam; sedangkan yang berhubungan dengan tradisi lain dan pengamalan agama lain oleh mereka sendiri, adalah hak mereka dan tidak ada campur tangan. Peraturan negerilah yang berhubungan dengan itu.
Bahwa cara mengolah hubungan dengan tradisi lokal dan kebudayaan lain, yang akan dijadikan sebagai bagian dari tradisi dan kebudayaan umat Islam, haruslah bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, serta pengamalan yang dilakukan Rasulullah, dapatlah disetujui, sebagaimana disebut Prof Dr. Simuh soal “yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, serta pengamalan yang dicontohkan oleh Rasulullah”. Dan, berdasarkan beberapa riwayat hadits pula, tradisi para khalifah yang mendapat petunjuk, juga diterima, yang pengolahannya untuk diterapkan melihat persoalan zaman sekarang, tetap mengacu untuk mempertimbangkannya (dan pendapat para imam mendapat petunjuk), berdasarkan kaidah-kaidah ilmu atau tradisi ilmu yang berkembang dalam fiqh ushul fiqh, qawaid fiqhiyah, dan ilmu-ilmu lainnya yang berhubungan.
Dasar melihat dan memahami Islam pada masa Nabi Muhammad yang seperti ini, penting sekali dimiliki, agar tidak terjebak, pada sejenis nalar “Islam yang asli=Islam syar’i=islam yang tidak dipengaruhi unsur-unsur budaya lokal”, dan kemudian memusuhi apa yang dianggap baru, tradisi-tradisi lokal dan budaya-budaya setempat, dengan serampangan. Dasar Islam yang disebut “Islam yang asli=Islam syar’i=Islam yang tidak dipengaruhi unsur-unsur budaya lokal”, dan menurut pendapat saya, justru tidak kompatibel dengan rahmatnya Kanjeng Nabi Muhammad, Al-Qur’an dan hadits di atas, yang argumentasinya telah saya tunjukkan di atas; dan dasar itulah, justru yang menjadi acuan cara melihat Islam, tasawuf, dan pergumulan Budaya Jawa oleh Prof Dr. Simuh di bukunya, yang paling tidak saya koleksi ada 3: Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Teraju, 2003), Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Islam (narasi, 2018), dan Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Matabangsa-IRCISoD, 2019). Akhirnya, penilikan agak jeli terhadap bagian-bagian tertentu di buku-bukunya, tentang masalah-maslaah Islam, tasawuf dan kebudayaan Jawa, menjadi sangat penting. Sementara pada bagian soal tasawuf akan ditinjau dalam tulisan tersendiri.
Meski begitu, Prof Dr. Simuh adalah orang yang berpenampilan sangat sederhana, ketika mengajar dari rumah dosen (yang saat itu di dalam area kampus), dengan cara naik onthel. Saya juga berterimakasih kepada almarhum Prof. Dr. Simuh, karena beliau (dan juga kepada KH. Malik Madani) yang keduanya telah memberi rekomendasi saya untuk melanjutkan sekolah S2. Semoga saya, beliau, dan para santri penelaah Islam dan tasawuf di Jawa, jariyah kebaikannya tetap lestari, dan selalu mendapat rahmat maghfirah dari Alloh. [Wallohu a’lam].
Nur Kholik Ridwan, alumnus pesantren Darun Najah Tanjungsari, Banyuwangi.