Kehidupan abad 21 sangat lekat dengan perkembangan teknologi. Masyarakat seakan-akan hidup berdampingan dengan kemajuan teknologi yang ada. Praktis dan cepat menjadi pedoman dalam mengembangkan teknologi untuk menunjang kehidupan yang semakin lama semakin kompleks. Kemunculan internet salah satunya, yang mana telah mengubah masyarakat dalam melakukan komunikasi dan memperoleh informasi. Komunikasi tidak lagi bergaya face to face namun dapat mengandalkan handphone misalnya untuk dapat menghubungi rekan yang berada ditempat jauh. Informasi bahkan disajikan secara tidak terbatas namun sangat terbuka yang terkadang tidak ada proses filterisasi.

Problematika baru pun mulai bermunculan seiring berkembangnya abad 21. Jika dahulu masalah kecanduan selalu diidentikkan dengan penggunaan obat-obatan terlarang, maka saat ini muncul istilah kecanduan digital. Kecanduan digital adalah fenomena baru yang muncul sebagai konsekuensi dari kemajuan teknologi (Rahayu, dkk: 2020). Kecanduan digital dapat kita lihat dalam bentuk perilaku kecanduan game online, kecanduan gawai, belanja online yang tidak terkendali (kompulsif), terlalu berlebihan dalam mengakses dan menggunakan sosial media, dll. Sebuah permasalahan sudah seharusnya dan patut untuk dicarikan sebuah solusi. Berkaitan dengan hal tersebut maka layanan konseling hadir yang mana konselor berperan sebagai “helper” membantu klien yang sedang berhadapan dengan masalah untuk menemukan solusi. Sifat penanganan masalah juga dapat dilakukan dengan 2 cara baik itu secara preventif (belum muncul masalah) dan kuratif (sudah terjadi masalah).

Usaha untuk terus berinovasi harus kontinu dilakukan agar layanan konseling tidak kehilangan eksistensi. Layanan konseling juga harus dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat modern. Berkaca dari tatanan kehidupan sosial masyarakat di abad 21 yang mana sangat mengandalkan teknologi, maka layanan konseling juga harus berbasis teknologi. Jika berbelanja saja dapat dilakukan tanpa harus pergi ke toko, maka layanan konseling juga harus dapat dilakukan tanpa harus datang secara langsung ke ruang konselor. Apalagi situasi pandemi covid-19 yang pernah menerpa seakan-akan memberikan sebuah “paksaan” untuk berinovasi dalam praktik konseling. Keterbatasan dalam melakukan interaksi langsung sebagai upaya menekan angka penularan covid membuat praktik konseling yang biasanya dilakukan secara face to face menjadi terbatas. Di samping itu kehidupan new normal berdampak pada tekanan-tekanan tertentu pada individu sehingga muncul masalah psikologis. Situasi tersebut memunculkan disequilibrium yang mana layanan konseling semakin dibutuhkan namun klien terbatas dalam mengakses konseling secara langsung.

Istilah konseling virtual pun muncul sebagai konsep baru dalam menjawab tatangan praktik layanan konseling di abad 21. Konseling virtual dilakukan dengan memanfaatkan media digital yang saat ini sedang berkembang pesat. Kita dapat menggunakan layanan telefon video, pesan tertulis, atau pesan suara dengan platfoam whatsapp. Kita juga dapat mengkampanyekan pentingnya kesehatan mental lewat gambar dan mengunggahnya ke instagram. Atau kita juga dapat memanfaatkan zoom bukan untuk menghadiri rapat atau kuliah, namun untuk bertemu klien dan melaksakanan sesi konseling.

Praktik konseling virtual tentu diwarnai dengan keunggulan salah satunya jangkauan layanan konseling akan lebih luas. Misal kita adalah salah satu konselor yang aktif mengkampanyekan kesehatan mental lewat instragram. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa instagram memberikan fitur di mana pengguna akun istagram dapat mengikuti akun instagram satu sama lain. Masing-masing pemilik akun juga dapat memilih akun mana saja yang mau diikuti. Lewat instagram kita juga terhubungan dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia. Ditambah lagi saat ini instagram menjadi salah satu media sosial yang populer di masyarakat. Dari sini bisa kita bayangkan ada berapa banyak pengikut kita yang mendapatkan manfaat dari kampanye kesehatan mental dari akun instagram kita? Dari latar belakang mana saja yang mendapatkan manfaat dari kampanye kesehatan mental dari akun instagram kita?. Keterjangkauannya pasti lebih luas dari pada kita menempelkan poster tentang kesehantan mental di majalah dinding sekolah, yang mana hanya bisa diakses oleh individu yang berada di sekolah tersebut.

Sayangnya praktik konseling virtual juga dirasa ada kekurangan, salah satu yang paling disorot adalah masalah terbatasnya hubungan antara konselor dan klien. Padahal hubungan dalam konseling memiliki peran yang cukup signifikan dalam keberhasilan konseling. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ada, kenyataannya konseling virtual tetap menjadi kebutuhan dalam merespon perkembangan layanan konseling yang sesuai dengan perkembangan zaman. Kekurangan yang ada dalam konseling virtual tidak kemudian memberikan kesimpulan bahwa konseling virtual dilarang/ tidak bisa di lakukan. Untuk menjawab isu keterbatasan hubungan dalam konseling virtual maka harus ada kehadiran terapeutik. Geller (2020) menjelaskan kehadiran teraputik adalah cara konselor berada bersama klien yang mengoptimalkan tindakan dan teknik terapi. Kehadiran terapeutik dapat dilakukan oleh konselor dengan membangun raport yang baik. Raport juga sebebarnya dilakukan saat konseling face to face, hanya saja raport yang dilakukan secara virtual pasti harus memperhatikan siatuasi virtual juga. Misal kita dapat mengatur jarak duduk kita dengan camera yang ada di laptop sehingga tampilan konselor di layar terlihat ideal.

Kita semua menyadari bahwa dunia bekembang ke arah yang semakin maju. Harapan kedepan penyelenggaraan konseling virtual sudah semakin matang. Pencapaian tersebut tentunya dibarengi dengan upaya dan kesadaran untuk terus berinovasi. Inovasi dapat dilakukan dengan melakukan penelitian praktis. Barnett (2005) memberikan rekomendasi terkait tema penelitian konseling virtual yang dapat dilakukan dikemudian hari misal mempelajari proses konseling online yang sebenarnya, menetapkan standar tambahan, menyebarkan informasi secara lebih efektif, meningkatkan pelatihan, memperluas akses melalui program yang inovatif, dan meningkatkan upaya advokasi. Layanan konseling di masa depan memungkinkan konselor tidak lagi memiliki kantor secara fisik, namun memiliki kantor/ ruang konseling virtual. Di mana layanan konseling dapat dilakukan dimanapun dan kapan pun tanpa terbatas jarak dan waktu.

Athia Tamyizatun Nisa

Komentar