Pasca pelaksanaan Debat Capres-Cawapres yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ternyata riset mitigasi kerentanan informasi pemilu masih menunjukan adanya peningkatan penyebaran gangguan informasi seperti misinformasi, disinformation, dan mal informasi di masyarakat.  Ini juga tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa  pelaksanaan Pemilu 2024 dilaksanakan dalam situasi akses publik terhadap internet semakin meningkat.

Dari jenis-jenis gangguan kerentanan informasi tersebut, kelompok yang paling banyak mendominasi adalah kelompok muda yang merupakan generasi milenial dan generasi centennial (Gen Z). Kedua kelompok tersebut menjadi yang paling banyak mengalami kerentanan gangguan informasi. Ini berbanding lurus dengan tingginya akses kedua kelompok tersebut terhadap internet dibanding kelompok lainnya.

Perkembangan media sosial memberi dampak yang sulit dihindari. Dampak positif perkembangan media yang seharusnya membuat  masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi, justru berbanding terbalik dengan kesadaran masyarakat untuk mendapatkan informasi positif. Faktor ini juga yang membuat  mereka mengalami paparan  terhadap informasi (information exposure) hingga mengalami keberlimpahan informasi  (information overload).

“Pola penyebaran hoax ini dilakukan secara terstruktur, dan banyak melibatkan  buzzer  yang disewa secara profesional oleh kelompok-kelompok capres-cawapres. Kami menemukan ini di ketiga pasangan,” ujar Direktur Eksekutif Medialink Ahmad Faisol di Yogyakarta 15 Desember 2023.

Lebih jauh Ahmad Faisol menuturkan  penyebaran informasi hoax ini semakin meningkat pasca debat putaran pertama yang diselenggarakan KPU yang lebih menargetkan kelompok muda yang menjadi ceruk terbesar dalam pemilu sekarang. “Mereka menyasar kelompok muda ini, dan menganggap mereka sebagai kelompok undecided voters” lanjutnya.

Walau pun dari segmen elektoral sudah terbentuk soliditas pilihan dan dukungan, para penyebar hoax ini masih melihat adanya potensi perubahan suara terutama pada kelompok  pemilih muda. “Penelitian yang kita lakukan memperkuat kecenderungan tersebut” tegas Faisol.

Upaya mitigasi penetrasi internet yang tinggi menjadi tantangan dalam upaya mitigasi dan prevensi penyebaran gangguan informasi dan menjadi tanggung jawab elemen pentahelix. Tugas ini tak hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara dan peserta pemilu semata, tapi harus menjadi tugas masyarakat pada umumnya.

Medialink bekerja sama dengan LinkDeHAM Yogya dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyelenggarakan program pelatihan literasi digital di kalangan muda dan kampus. Program ini diharapkapkan menjadi langkah awal bagi kelompok muda untuk menjadi  early warning system agar mereka dapat membedakan mana informasi valid dan mana hoax sehingga mereka mengukur  potensi-potensi penyebaran misinformasi, serta dapat mencegahnya sebelum misinformasi tersebut beredar.

Ahmad Faisol menegaskan, walaupun langkah ini merupakan bentuk gerakan moral, menurutnya, gerakan seperti ini harus lebih banyak dilakukan oleh elemen-elemen lainnya juga agar terbentuk masyarakat sadar dan bijak dalam menggunakan akses internet.

“Kita harus menanamkan kesadaran itu di masyarakat. Penggunaan media sosial yang paling banyak menyasar kelompok muda juga harus lebih bijak dan positif sehingga dapat mengedukasi publik,” ujarnya.

WhatsApp menjadi salah satu platform yang paling banyak digunakan oleh kelompok muda, dan menjadi aplikasi dengan tingkat penyebaran hoax paling massif.  Selain, isu kesehatan, isu hoax politik merupakan informasi yang paling banyak disebarkan melalui platform ini, dan sebagian besar penggunanya adalah generasi milenial dan centennial (Gen Z).

Kondisi ini tentu akan berdampak bahaya bila kedua kelompok tidak memiliki dan mendapat pemahaman yang baik mengenai cara bijak dalam menggunakan akses layanan internet dan media sosial.  Kemampuan literasi yang lemah dan tidak melakukan konfirmasi akan mendorong orang mudah percaya dan kemudian menyebarkan hoaks  tersebut ke jaringan yang lebih luas.

“Kurangnya literasi penggunaan media sosial yang baik akan mudah memicu hoax dengan mudah menyebar luas. Ingat, hoax ini memiliki kecepatan enam kali lebih cepat penyebarannya bila dibanding dengan informasi biasa,” tegas Ahmad Faisol.

Senada dengan Ahmad Faisol,  Kordinator Cek Fakta Adi Marseila melihat bahwa kurangnya literasi  yang positif terhadap informasi yang beredar membuat kalangan muda menjadi sumber penyebar. “Mereka menjadi salah satu penyebar hoax, karena lemahnya pemahaman literasi” kata Adi Marseila.

Untuk itu pihaknya menyambut baik pihak-pihak yang memiliki concern untuk memberikan edukasi dan literasi digital di masyarakat dan kampus. “Ini menjadi tugas kita  bersama untuk membangun masyarakat yang sadar pentingnya informasi-informasi sehat”, tambahnya.

Komentar