Islamsantun.org – Silih berganti ujian yg dihadapi seluruh tokoh dan warga NU hampir sepanjang 1 abad dari mulai berdiri. Di zaman kolonial bagaimana keluarga-keluarga dan pesantren harus bertahan dari gempuran kolonial yang berkolaborasi dengan kelompok puritan. Hingga harus bertahan di kampung kampung, di surau bambu dan pondokan sederhana. Sementara di sebrang betapa massif kampanye purifikasi Islam yang membajak isu modernitas. Saking tertindasnya sampai banyak yang harus menyembunyikan identitas dan gerakan, bahkan untuk sekadar menulis silsilah saja tak ada keberanian.

Di era awal kemerdekaan, kembali harus menghadapi gerakan internasional komunis. Pemerintah orde lama yg memang masih lemah, harus permisif dengan partai komunis yg disokong habis raksasa Uni Soviet dan RRT, dan terbukti PKI menjadi salah satu partai paling progresif di masa 50an sampai 60an. Di saat kita baru mengandalkan tahlilan dan selametan, kader mereka sudah menguasai teori dialektika dan konflik sosial. Hingga kampanye sepihak PKI menyerang sendi-sendi ibadah, ekonomi dan ketenangan sosial.

Sebagai contoh mbah saya yang tokoh Ansor kampung, harus tidur dicungkup kuburan setiap malam, untuk menghindari kemungkinan terjadinya pembunuhan. Sementara rumah, anak dan istrinya harus dijaga teman teman Banser untuk melindungi dari kemungkinan serangan.

Saat orde lama tumbang, datanglah orde baru, yg di dalamnya terjadi main mata antara para kapitalis, militer dan teknokrat. Kaum terpelajar dengan alasan ijazah formal memberangus habis eksistensi sosial dan politik kaum sarungan. Bahkan puncaknya, madrasah diniyah dipaksakan mengikuti dominasi Islam modernis yang mulai berkolaborasi dengan orde baru, dengan menguasai kementrian agama.

Hasanah intelektual madrasah diniyah atau bahkan pesantren sengaja dihilangkan dengan formula pemaksaan kurikulum nasioanal. Sebagai contoh, di madrasah Yapim Ngagel Pati tempatku dibesarkan, ribuan murid dan santri harus merelakan hilangnya beberapa mata pelajaran dan bahkan guru guru ahlinya, seperti pelajaran rubu’, qiroah sab’ah, mantiq, balaghoh dll.

Sementara itu keluarga kekuarga nahdliyin pedesaan mengalami kesulitan ekonomi untuk menguliahkan anak anaknya di perkotaan, akibat revolusi hijau yang menjatuhkan standar kompetitif produksi pertanian. Mereka harus menjual tanah berhektar-hektar hanya agar anaknya tetap mengenyam bangku kuliah di perkotaan, dan sebagian besar lainnya hanya menerima nasib anaknya cukup jadi santri ndeso, tak berijazah, yang tak mungkin jadi pejabat, dan kalaupun mau, hanya pegawai negeri rendahan, dan harus menyembunyikan ke NU-annya, karena atasannya merupakan ancaman bagi orang NU.

Sedangkan anak anak NU yg berhasil kuliah, karena identitas ndeso yang mudah diidentifikasi sebagai orang NU, sulit mendapatkan beasiswa dan banyak juga yg mengalami hambatan untuk berkarir di kampusnya. Mereka sulit membayangkan untuk jadi dosen pengajar, karena pejabat kampus memang selalu mengintainya, bahkan banyak yang jadi bagian orde baru masuk dalam komite Litsus untuk membatasi ruang gerak aktivis NU.

Masih ingat betul, paman saya yang terhalang jadi dosen PTN di Yogya, karena aktivis PMII, atau Ibuk saya yg harus dipanggil camat karena mesosialisasikan khittah NU di Fatayat. Bahkan saya sendiri juga masih merasakan dituding sebagai Bani Israel, karena melawan gerakan Islam kanan yg seakan akan dihalalkan di Rohis sekolah negeri padahal sudah di ujung orde baru. Saya sebagai orang NU merasa menjadi minoritas di sekolah negeri, karena memang mayoritas guru yang juga pegawai negeri bukan NU atau takut menunjukkan NU.

Pengalaman di kampus negeri non IAIN , mungkin juga banyak orang NU yang mengalami, rasa sendiri dan terpojok sebagaimana yang saya alami. Tidak ada satupun dosen yg NU, menjadikan merasa tidak ada yg mengayomi, sementara aktivis mahasiswa dari kelompok lain, yang bahkan tak pernah kuliah, karena dosennya adalah juga senior di organisasi, tetap dapat nilai A di hasil akhir kuliahnya.

Di masa milenial ini, meskipun NU sudah memiliki puluhan ribu doktor, tetapi banyak yang masih sulit mengakses jabatan profesional karena masih minimnya pejabat birokrasi NU asli di lembaga lembaga negeri ini. Sisa orde baru masih terus mewarnai, karena reformasi dan perubahan birokrasi, tak mungkin dalan semalam berganti.

Reformasi juga jadi jalan mulus pemilik modal menguasai negeri. Jargon wirausaha sebagai motor kehidupan ekonomi, mereka menguasai banyak sendi kehidupan dari tingkat bawah sampai ujung kekuasaan negeri. Orang NU dengan ijazahnya sudah tidak relevan lagi, karena yg harus diberi karpet merah adalah para penguasa ekonomi, sedangkan orang NU karena tertindas dari zaman kolonial sampai orde baru, belum mampu melakun kapitalisasi.

Masih ingat betul, bagaimana kapitalis, bahkan mampu mengalahkan ratusan profesor NU untuk jadi menteri yang menguasai riset dan pendidikan, karena dianggap tak punya kuasa ekonomi. Ini sungguh menyakitkan sekali, sementara itu banyak di antara kita sendiri yang saling sikut, karena “gragas” khawatir harus berbagi dengan kawan sendiri. Ada yg berkuasa kepingin sampai mati, dengan halalkan segala cara, bahkan sampai angkat karyawan yang berafiliasi dengan HTI.

Saya pernah menangis sedih dalam hati, saat diwaduli mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi NU, yang menceritakan dosennya yang juga kaprodi, dapat SK dari rektornya tentu saja, ternyata di kelas menghujat PMII yang merupakan salah satu banom NU dan mayoritas diikuti oleh mahasiswa di kelas yg diajar. Bahkan para pejabat dan rektonya, hanya diam saja, maka aku tantang para mahasiswa itu untuk buat gerakan, baru dicopotnya dari kaprodi, dan masih tetap aman jadi pengajar sampai hari ini.

Semoga abad ke dua NU, tidak lagi memberikan rasa sakit pada kita semua sebagai warga NU. Semoga orang NU kembali merasakan sebagai 50 % pemilik negeri ini. Amin.

Komentar