Islamsantun.org – Sabagai warga kampung biasa, dan layaknya rakyat jelata, saya menyambut Ramadan dengan sesekali datang ke masjid, bercengkrama dan salat bersama semampunya. Satu hal yang sering kali saya nikmati adalah perjumpaan dan interaksi dengan sesama warga.
Memang, kata pak Quraish Shihab, ketika menjelaskan agama, beliau berangkat dari penjelasan Nabi, bahwa ‘ad-din al-mu’amalah’ (agama itu interaksi). Interaksi dengan Tuhan dan interaksi dengan manusia. Namun dalam esai ini saya tidak akan membahas tentang interaksi ini. Meski pada akhirnya, esai ini mengarah pada interaksi masyarakat muslim terhadap Al-Qur’an. Kitab suci mereka.
Di satu kesempatan selepas salat, beberapa bapak berkumpul. Mereka membincangkan berbagai masalah. Karena selepas salat dan mendengar ceramah, mereka membahas seputar membaca Al-Qur’an. Satu hal yang saya garis bawahi dalam perbincangan ini, antar satu dengan yang lainnya masing-masing membicarakan pengalamannya berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Mencoba Memahami Al-Qur’an
Ada yang bercerita bahwa mereka pernah mendapatkan perintah dari gurunya untuk membaca surat-surat tertentu dan membaca sekian kali secara berulang. Ada juga yang tidak setuju dengan praktik itu dan berusaha mengkhatamkan Al-Qur’an saja. Ada juga yang membaca lalu berusaha memahaminya dengan membaca terjemahnya. Lalu ada yang bertanya, bagaimana sebaiknya? Bolehkah membaca Al-Qur’an untuk tujuan-tujuan tertentu?
Fenomena sebagaimana saya alami, nampaknya jamak terjadi di kalangan umat Islam. Artinya, perdebatan itu bisa saja terjadi di dalam masyarakat muslim lainnya. Untuk menjelaskan hal itu, kita perlu melihat dahulu, definisi dari Al-Qur’an sendiri dan bagaimana Al-Qur’an memperkenalkan dirinya.
Saat ide esai ini saya tulis, saya teringat buku Fadhli Lukman berjudul “Asma’ Al-Qur’an sebagai Self Identity”. Sayangnya, buku yang telah baca 4 atau 5 tahun yang lalu tidak juga kunjung kutemukan lagi di rak buku. Meski demikian, pada tahun 2022 lalu, Fadhli menulis ulang ke dalam sebuah artikel dan terbit di journal of interdisciplinary Qur’anic Studies, dengan judul “Qur’anic Identity Building: A Discourse Analysis of Asma’ Al-Qur’an”.
Poin penting dari tulisan Fadhli di atas yang sesuai dengan esai ini adalah bahwa adanya upaya Al-Qur’an untuk memperkenalkan dirinya ke dalam masyarakat Arab saat Al-Qur’an diturunkan. Fadhli mengemukakan derivasi asma’ Al-Qur’an sebagai Qur’an, Al-Kitab, Al-Furqan, dan Al-Dzikr. Dengan teori discourse-nya Foucault, Fadhli menjelaskan bahwa masing-masing dari kata tersebut memiliki makna dan spiritnya untuk memperkenalkan Al-Qur’an, sehingga dapat diterima di kalangan Arab waktu itu. Dalam hal ini tentu bahasa mempunyai peran.
Esai ini tentu tidak bermaksud untuk mereview tulisan Fadhli tersebut. Saya ingin menariknya ke dalam hal yang lebih teknis, yakni menjawab perdebatan bapak-bapak di atas. Pertama, tentang definisi Al-Qur’an. Jika kita baca kitab-kitab ulumul Qur’an seperti Al-Burhan, Al-Itqan, Manahilul ‘Irfan, dan lain-lain, kita akan temukan bahwa Al-Qur’an didefinisikan dengan ‘kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantaraan Jibril’.
Ada kata kunci ‘kalam Allah’ di sini. Kenapa ‘kalam’? Iya, karena Al-Qur’an diturunkan dengan lisan, bukan tertulis sebagaimana kita temui dan mewujud dalam mushaf seperti sekarang. Jibril melafalkannya kepada Nabi, lalu para sahabat mempelajarinya dari Nabi Muhammad. Lalu apa maksudnya? Tanpa mengetahui kalam itu, seseorang takkan pernah memahami pesan Tuhan.
Menumbuhkan Rasa Sayang
Selain itu, Al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai ‘kitab’ (Q.S. [2]: 2); hudan (petunjuk) (Q.S. [2]: 184); furqan (pembeda) (Q.S. [2]: 184); Syifa’ (obat/penyembuh) (Q.S. [10]: 57); (Q.S. [41]: 44); dan juga dzikr (pengingat). Dari nama-nama inilah kemudian bisa disebut dengan ‘fungsi’ Al-Qur’an.
Fungsi ini memungkinkan kita untuk dapat mendekatinya dan kemudian dapat untuk terus menyayanginya. Ketika seseorang menyayangi sesuatu, maka ia akan terus berusaha dekat dan memahaminya, perlahan demi perlahan.
Oleh karena itu, seseorang dapat mendekati Al-Qur’an dari fungsi yang ia mampu. Upaya mendekati Al-Qur’an bisa dimulai dari fungsi yang paling sesuai dengan keadaannya. Tidak perlu dipaksakan. Tujuan pertamanya adalah dekat dan timbul rasa sayang. Rasa sayang akan menimbulkan rasa nyaman, aman, cinta dan ingin selalu dekat.
Dengan begitu, secara perlahan seseorang akan terus berusaha bersanding dengannya. Kapanpun dan di manapun. Sehingga jika ada yang bertanya mulai dari mana mencintai Al-Qur’an, mari bertanya ‘apa yang membuatmu membutuhkannya. Mulai dari urusan duniawi hingga nanti setelah mati.
Waallahu a’lam.