Islamsantun.org – Tentunya, sudah menjadi keharusan bagi siapapun saja—terkhusus sekali umat Islam—untuk melihat Islam secara adil dan jernih sebagai suatu sistem nilai yang rahmatan lil ‘alamin. Sehingga, dalam hal ini, Islam harus dipahami bukan hanya sebagai frasa agama dogmatik yang sebatas berorientasi pada soal-soal kepentingan langit yang sifatnya eksklusif—yang bahkan hanya dikooptasi oleh beberapa kelompok saja. Tidak demikian. Lebih dari sekadar itu, Islam sesungguhnya adalah semesta nilai yang mencita-citakan lahirnya kemaslahatan hidup seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Sebab—sebagaimana pandangan Ali Asghar—bahwa Islam pada awal mulanya lebih dari sekadar gerakan-gerakan religius.

Dewasa ini, mengutip Budhy Munawar dalam “Islam Pluralis” (2004), mengatakan bahwa problem besar dalam konteks kehidupan beragama, adalah tentang bagaimana seseorang beragama mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama (baca: kelompok, golongan) lain. Kita tidak bisa terlalu naif dan sombong dengan melihat dan memahami Islam sekedar sebagai tampakan “identitas agama” belaka yang kemudian kita gunakan untuk melegitimasi gerakan puritanisme, dan mendeklarasikan diri seolah-olah ‘Islam milik kita’-lah yang paling suci dan benar, sedangkan yang lain adalah keliru. Klaim kebenaran yang dilandasi dengan nafsu kesombongan dengan merasa diri seolah paling benar semacam itulah yang akhirnya menjadi sumber lahirnya konflik kemanusiaan. Muncullah kemudian tindak-tindak ketidakadilan—bahkan terhadap sesama saudara umat Islam sekalipun—hanya karena berbeda pandangan atau beda golongan.

Problem demikian itu seperti tidak pernah selesai. Membentuk benang ruwet yang seakan sulit diurai. Seolah-olah Islam terlihat hanya sebagai sumber munculnya konflik kemanusiaan. Padahal, apakah demikian wajah asli Islam yang sesungguhnya? Dan, apakah itu pula yang diteladankan oleh Rasulullah Muhammad Saw?

Barangkali benar apa yang dikatakan oleh W.C Smith, bahwa umat Islam kini sedang mengalami krisis fundamental yang disebabkan karena tidak beres dan belum dewasanya umat Islam dalam memahami sejarah Islam—termasuk tidak mampunya umat Islam memahami makna “Islam” itu sendiri secara kaffah. Akan sangat tidak make sense, apabila kita sebagai umat Islam sudah memahami Islam sekaligus sejarahnya, tetapi kita masih tetap saja mengkooptasi hak-hak mereka yang berbeda dengan kita. Bahkan, sampai melakukan tindakan diskriminatif. Faktanya, problem adanya tindak diskriminasi, bahkan persekusi masih sering terjadi kepada mereka yang minoritas. Misalnya, lihat ssja apa yang terjadi pada kelompok Ahmadiyah, dan sejenisnya.

Bukankah Islam hadir untuk menggemakan nilai-nilai keadilan, melakukan perlindungan dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan? Kalau iya, kenapa kita sebagai umat Islam malah menjadikan Islam sebagai alat untuk melakukan tindak-tindak keadilan, sehingga malah membelenggu kebebasan manusia yang lain? Tentu ini menjadi autokritik sebagai ajang muhasabah diri dan muru’ah keislaman kita sebagai Muslim.

Nilai-nilai yang terkandung dalam tubuh Islam adalah nilai-nilai yang bersifat universal. Dan, universalitas nilai-nilai Islam tentulah bersifat inklusif, yakni bersifat rahmatan lil ‘alamin. Tidak terkotak secara sempit hanya untuk kalangan tertentu saja, tetapi meluas bagi siapapun itu. Karena “[… ketika ajaran Islam yang universal itu jatuh ke tangan beberapa orang atau kelompok orang yang mengatasnamakan Islam, ajaran Islam lepas dari universalitasnya, sehingga seakan-akan hanya menjadi milik sekelompok orang yang tidak berhak orang lain menyentuhnya]” (Hassan Hanafi, 2004). Tentu, kalau sudah demikian itu bukan mustahil lagi akan menjadikan terbukanya ruang lahirnya tindakan-tindakan yang tidak adil terhadap mereka-mereka yang beda kelompok atau golongan. Gus Dur dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” juga mengatakan, kalau pandangan-pandang yang sifatnya eksklusif itu kemudian begitu dipaksakan, maka akan terjadi dislokasi pada diri orang lain yang justru hanya akan membunuh keindahan yang semula sudah terjadi. Dan, itu adalah suatu tindakan yang irrasional.

Oleh karenanya, sesegera mungkin kita harus bangun dari tidur dan mimpi-mimpi dogmatis kita atas model ‘keislaman’ kita—kalau kata Kant. Untuk kemudian melihat, memahami serta memasuki Islam secara utuh dan mendalam. Yakni, melihat bahwa Islam bukan hanya sekadar agama yang pasif. Memahami bahwa Islam tidak sebatas pemberi jalan agar kita masuk surga. Serta, memasuki nilai-nilai Islam bahwa entitas dan hakikatnya adalah untuk membawa perdamaian hidup—menyelamatkan kehidupan seluruh umat manusia. Sebagaimana makna kata dari “Islam” itu sendiri, yang berarti “upaya penyelamatan”.

Ramadhan, Muhammad dan Perlindungan Hak-hak Minoritas

Hemat saya, kehadiran Ramadhan harus menjadi momentum titik balik untuk kita bisa membangunkan diri dari mimpi-mimpi dogmatis kita atas “Islam” yang telah kita bangun, yang mungkin memang perlu untuk kita revaluasi dan rekonstruksi kembali. Yakni, dengan kita belajar kembali memahami Islam secara lengkap dengan latar lingkup kesejarahannya, belajar pada figur utama teladan umat Islam, Rasulullah Muhammad, dan membumikan kembali nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Pertama-tama, kita ambil satu tujuan penting diwajibkannya puasa adalah supaya kita bisa menjadi hamba yang mencapai derajat taqwa. Apakah kita belum bertaqwa? Tentulah, kita tidak bisa lantas mengklaim diri secara angkuh sebagai orang yang sudah bertaqwa. Akan tetapi, selama kita masih diberikan kesempatan untuk bertemu, ber-muwajahah dengan wajah Ramadhan, sehingga kita wajib berpuasa. Itu berarti kita masih disuruh untuk kembali dan terus memperbaiki kadar sekaligus meningkatkan kualitas ketaqwaan kita.

Taqwa di sini berposisi sebagai bentuk komitmen batin dan bentuk kesetiaan kita kepada Allah. Orang bertaqwa adalah orang yang menjadikan Allah sebagai motor kesadaran utama hidupnya. Dengan begitu, orang yang bertaqwa akan sangat berhati-hati dalam bertindak atau melakukan sesuatu. Karena sekali saja dia melakukan sesuatu yang tidak baik melebihi batas wajar, maka bukan tidak mungkin Allah akan murka kepadanya. Di dunia ini, tidak ada yang lebih berbahaya melebihi bahaya ketika Allah murka kepada kita. Jadi, menjadi bertaqwa di sini memiliki arti penting sebagai cahaya kesadaran untuk kita agar senantiasa menjadi pribadi yang dalam setiap tindakan dan perilakunya terpimpin secara Ilahiyah.

Dua hal penting lagi yang harus menjadi kesadaran tersendiri bagi orang bertaqwa, adalah perkara habluminallah dan habluminannas. Pertama, habluminallah, yakni kita harus memiliki dan terus menjaga silaturahmi ke-hamba-an kita kepada Allah secara suci. Dalam arti ini, nilai ketaqwaan kita secara ritualistik untuk mengagungkan dzat-Nya harus terus kita lakukan. Kedua, habluminannas, bahwa selain soal hubungan baik kita kepada Allah, kita harus juga mampu berhubungan baik dengan manusia. Hubungan baik yang dimaksud di sini, tentu bahwa kita jangan sampai menyakiti, apalagi menindas sesama manusia lain, betapapun ia tidak satu golongan dengan kita. Menyakiti manusia adalah menyakiti Allah. Menindas manusia, berbuat semena-mena terhadap sesama manusia adalah mengkhianati hukum-hukum Allah. Maka, dalam konteks ini, belum absah untuk dikatakan bertaqwa bagi orang yang masih belum bisa menyeimbangkan dimensi  habluminallah dan habluminannas di dalam setiap tindak perilakunya.

Khusus soal perbedaan mayoritas dan minoritas, tidaklah ada pembeda yang menjadi ukuran siapa yang paling mulia dan benar. Kalau kita memakai ukuran ideal yang membedakan manusia dengan yang lain—termasuk membedakan kelompok—untuk menilai siapa yang paling mulia dan benar adalah pada kadar ketaqwaan yang ada di dalam hati. Di mana itu sama sekali adalah urusan Allah semata. Ketika misalnya kita sebagai mayoritas lantas mengklaim diri sebagai kaum yang lebih mulia dan benar, dan lantas bersikap tidak adil, bahkan tidak manusiawi terhadap mereka (kaum minoritas) sungguh adalah sikap yang sama sekali tidak mencerminkan wajah ketaqwaan. Begitupun, sebaliknya.

Kedua, kita harus mencontoh dan mengkiblatkan akhlak kita mutlak kepada Rasulullah Muhammad, sebagai uswatun hasanah utama. Yakni, sebagai upaya kita untuk memahami Islam dan ber-Islam secara utuh lewat jalur teladan Muhammad bin Abdullah. Karena kita tidak mungkin memahami Islam dan ber-Islam tanpa “sunnah” Rasulullah, dan Islam dengan kitab suci Al-Qur’annya itu pada hakikatnya ada lantaran Rasulullah Muhammad dihadirkan oleh Allah ke dalam konstelasi kehidupan dunia. Sebab, antara Islam (Al-Qur’an) dan Rasulullah adalah layaknya dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Kita bisa belajar kepada Rasulullah, dan mengambil satu urgensi nilai pokok dihadirkannya Islam pada masalah pembebasan terhadap penindasan yang terjadi tatkala Islam secara lahiriah diturunkan Allah. Di sini, Rasulullah menjadi figur terdepan yang berusaha membumikan Islam sebagai ajaran yang membawa keadilan bagi seluruh entitas umat manusia tanpa terkecuali, dengan cara menghapuskan segala bentuk-bentuk penindasan (diskriminasi). Apa yang dilakukan Rasulullah terhadap kelompok-kelompok masyarakat minoritas dalam suku-suku di Jazirah Arab, juga perilakunya terhadap Yahudi dan Nasrani adalah contoh nyata bagaimana Rasulullah benar-benar harus dijadikan teladan agar kita bisa mewarnai kehidupan dengan nilai-nilai keadilan, sekaligus untuk senantiasa melindungi siapapun saja yang memang harus dilindungi. Bukan malah sebaliknya. Dalam arti ini, beliau Muhammad adalah Sang Pembebas yang berjuang melakukan pembebasan dalam bidang sosial (Ali Asghar, 2009).

Pun, di dalam Islam sendiri tidak ada narasi pembeda antar sesama manusia secara derajat kemakhlukan. Kedudukan semua manusia adalah sama dan sederajat. Mengutip Ali Asghar Engineer dalam bukunya “Islam dan Teologi Pembebasan” (2009), “Al-Qur’an menyatakan bahwa semua manusia berasal dari keturunan yang sama, laki-laki dan perempuan, dan tidak ada perbedaan sedikit pun satu sama lain yang dikarenakan oleh suku, bangsa, ras, atau warna kulit.” Sehingga secara hakikat, manusia adalah sama dan sederajat. Adapun adanya suku-suku, bangsa dan golongan itu ada justru supaya manusia mau saling mengenal satu sama lain. Bukan untuk saling mengungguli yang liyan (the other).

Inilah keterhubungan antara Ramadhan, Muhammad dan perlindungan terhadap hak-hak minoritas. Ramadhan berposisi sebagai pembentuk manusia (umat Islam) agar bisa menjadi manusia bertaqwa, sehingga ia bisa menjadi insan kamil yang memahami pola hubungan habluminallah dan habluminannas. Sosok Muhammad menjadi teladan umat Islam untuk memahami Islam dan ber-Islam sebagaimana Islamnya Rasulullah Muhammad. Paling tidak kita sebagai umat Islam bisa mencontoh sosok Muhammad bin Abdullah sebagai teladan keadilan dan kemanusiaan. Sosok yang begitu berat hati ketika melihat sebuah penderitaan (At-Taubah: 110).

Sebenarnya kita tidak perlu muluk-muluk untuk melihat relevansi Islam dengan perlindungan hak-hak minoritas. Karena urgensi “Islam” adalah nilai perlindungan itu sendiri, dan Islam dengan sosok Muhammad adalah representasi keadilan dan kemanusiaan yang nyata dan hidup. Satu lagi, sesungguhnya tidak ada problem apapun dalam rancang bangun tubuh “Islam”. Adapun yang problem adalah “umat Islam”-nya yang tidak mau sungguh-sungguh memahami “Islam”—dan malah menjadikan Islam sebagai legitimasi keangkuhan kelas sosial, lebih-lebih untuk mendiskriminasi liyan. Wallahu a’lam []

Komentar