Islamsantun.org – Bagi saya, Ramadan adalah bulan yang paling sibuk. Saya harus bangun lebih pagi menyiapkan santapan sahur untuk seluruh keluarga. Sorenya, saya juga harus menyiapkan makanan untuk berbuka.

Belum lagi keriwehan mempersiapkan hari raya Idulfitri dari mulai makanan, cemilan, baju lebaran anak-anak, sampai uang fitrahnya. Sangat menguras energi. Saya yakin hal serupa juga banyak dialami para istri dan para ibu yang lain. Sehingga, jika ada pertanyaan siapa yang paling sibuk di bulan Ramadan? Jawabannya pasti lebih banyak istri.

Melampaui Pertanyaan

Saya bukannya mengeluh. Saya sadar betul bahwa saya melakukan itu atas dasar ridha dan ikhlas. Kesadaran saya ini tidak terlepas dari privilege saya sebagai perempuan. Saya mempunyai suami yang baik dan bertanggungjawab, keluarga kami juga alhamdulillah berkecukupan. Selain itu, aktivitas saya memang lebih banyak dilakukan di rumah, sementara suami lebih banyak di luar rumah. Nah, saya yang mempunyai privilege seperti itu saja kadang masih merasa lelah, bagaimana dengan para istri yang tidak mempunyai kesempatan seperti saya?

Bagaimana dengan mereka para istri yang juga bekerja? Para petani perempuan misalnya. Karena khawatir hutang puasanya menumpuk dan tidak bisa mengganti, maka mereka memutuskan untuk tetap berpuasa, padahal mereka harus menggarap lahan. Sudah lelah bekerja di luar, eh di rumah masih harus uprek di dapur menyiapkan santapan sahur dan berbuka untuk keluarga. Mulai dari belanja sayur dan bahan makanan, memotong dan meracik sampai memasak, hingga mencuci piring dan perabotan masak. Tentu sangat melelahkan.

Belum lagi tanggung jawab membangunkan anggota keluarga untuk sahur. Jika istri terlambat bangun dan satu keluarga akhirnya berpuasa tanpa sahur, pasti istri yang merasa salah kalau tidak disalahkan. Saat berbuka, seringnya istri dituntut memasak menu-menu tertentu, jika ada menu yang tidak cocok, lagi-lagi istri yang disalahkan. Saya tidak kebayang jika saya berada dalam relasi rumah tangga seperti ini. Pasti berat sekali bebannya.

Padahal, ramadan adalah bulan mulia yang penuh dengan keberkahan. Karenanya, kita dianjurkan meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah lebih banyak dari bulan-bulan lainnya. Lalu, bagaimana dengan para istri dan juga para ibu yang mempunyai beban ganda tersebut? Bagaimana mereka bisa khusyuk menjalankan ibadah di bulan ramadan jika semua beban pekerjaan rumah tangga, termasuk menyiapkan santapan sahur dan berbuka dibebankan kepada mereka?

Kontekstualisasi Hadis

Dalam konteks sahur dan berbuka, memang ada satu hadis yang diriwayatkan HR Tirmidzi yang matannya berbunyi seperti ini:

Barang siapa memberi makan berbuka kepada orang yang sedang berpuasa, maka dia akan mendapat pahala orang tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.”

Hadis tersebut biasanya digunakan sebagai landasan kemuliaan istri menyiapkan santapan sahur dan berbuka bagi keluarganya. Sebenarnya tidak ada yang salah, karena hal tersebut adalah suatu kebaikan. Yang menjadi masalah adalah interpretasi masyarakat terhadap hadis tersebut yang menempatkan istri sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab dalam ihwal sahur dan berbuka tersebut.

Padahal dalam hadis saja tidak disebutkan secara eksplisit apakah itu perempuan atau laki-laki, artinya, siapapun yang memberikan makan berbuka dan sahur maka dia berpahala. Seharusnya begitu kan pemahamannya?

Dengan demikian, narasi-narasi yang beredar tidak hanya narasi seperti “Dear Bunda, Ini pahala yang Bunda dapatkan ketika menyiapkan sahur” atau “Masya Allah ini keutamaan Istri ketika memasak untuk berbuka” tetapi juga harus diperbanyak narasi-narasi yang berimbang seperti “Masak sahur untuk keluarga, wujud cinta suami sejati”.

Kesalingan

Karena pada dasarnya, Al-Qur’an tidak pernah menyebut atau mengatur mana pekerjaan yang harus dilakukan suami dan mana yang harus dilakukan istri. Dengan kata lain, pekerjaan rumah tangga tidak berjenis kelamin. Al-Qur’an hanya menyebutkan prinsip-prinsip relasi rumah tangga seperti mu’asyarah bil ma’ruf, tasyawurin, dan taradhin yang pada intinya, adalah tentang kesalingan dan keseimbangan peran suami dan istri. Hal tersebut ditujukan agar terwujud kemaslahatan dalam keluarga.

Selain itu, jika kita merujuk pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan An Nawawi dalam kitab Maj’munya, pada dasarnya menggiling gandum, membuat roti, memasak, mencuci dan pekerjaan rumah lainnya bukanlah kewajiban istri. Jikapun istri melakukan pekerjaan tersebut sebenarnya sebagai bentuk mu’asyarah bil ma’ruf istri terhadap suami.

Karena itu, dalam konteks bulan ramadan yang penuh keberkahan, jangan sampai keberkahan ini hanya dirasakan suami. Karena istri sudah terlalu lelah dengan pekerjaan publik maupun domestiknya sehingga dia tidak bisa beribadah secara maksimal, keberkahan bulan ramadan pun terlewat begitu saja. Menyiapkan sahur dan berbuka bagi orang yang berpuasa adalah suatu kebaikan dan maslahat. Maka maslahat ini harusnya menjadi tanggung jawab seluruh anggota keluarga, bukan hanya istri saja.

Maka, momen bulan ramadan adalah momen yang sangat pas untuk melatih kepekaan suami istri akan beban kerja masing-masing. Bagaimana kemudian mereka bermusyawarah membagi pekerjaan rumah atas dasar taaradhin atau saling ridha antara keduanya, Dengan demikian relasi suami istri dan seluruh anggota keluarga akan semakin solid. Berkah ramadan tidak hanya didapatkan dalam kontes ibadah mahdhoh saja, namun juga muamalah antar suami istri dan anggota keluarga lainnya termasuk anak. Dari sini, insyaAllah keberkahannya akan berlipat-lipat, bukan?

Silakan bila mau download buku gratis di sini I

Komentar