Islamsantun.org – Pulang, satu kata dengan ribuan makna. Bagi setiap orang, kata pulang bisa memiliki makna yang berbeda-beda. Sebagian mengatakan jika kata pulang bukan hanya kembali ke sebuah tempat, sebagian mengatakan jika pulang juga bisa dikatakan ketika seseorang telah menemukan kenyamanan dan ketenangan. Berangkat dari asumsi ini, saya sendiri kemudian berpikir mengenai tradisi mudik. Tradisi mudik yang kemudian memiliki padanan kata pulang kampung adalah suatu tradisi yang sangat ditunggu para perantau.

Mudik selalu memiliki tempat spesial di hati masyarakat Indonesia. Baik muslim maupun bukan, semuanya menikmati euforia mudik. Bertemu orang tua, sanak saudara, saling bertegur sapa dengan kerabat jauh, hingga agenda ziarah dan mengunjungi makam karib kerabat yang sudah tiada. Mudik selalu identik dengan lebaran, waktu dimana semua jiwa kembali fitrah, kembali menjadi jiwa suci setelah menjalani ibadah puasa selama satu bulan.

Sebagai seorang perantau, dan juga anak dari pasangan perantau, dapat dipastikan hampir setiap tahun saya selalu ikut mudik. Sejak tahun lalu, saya menjadi orang yang merasakan mudik ke kampung halaman. Menjadi perantau menjadikan saya seringkali akan merasa rindu dengan keluarga, terkhusus adik-adik manis saya dirumah, rindu masakan ibu, hingga rindu pada teriakan merdu ibu saat membangunkan kami untuk sahur.

Beberapa kali saya bertanya-tanya makna mudik pada sanak saudara, bahkan pada teman sepermainan di kampus. Jawaban yang saya dapat tentu beragam, ada yang menjawab mudik hanyalah formalitas sewaktu lebaran, akan tetapi ada juga yang menjawab bahwa mudik adalah sebuah kesempatan terbatas waktu untuk berkumpul dengan sanak saudara yang bahkan jarang ditemui.

Pikiran saya terbang ke masa dimana saya masih duduk di kelas dua aliyah, di salah satu pesantren modern di Jawa Barat. Seperti biasa, perpulangan adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh para santri, termasuk saya sendiri. Rasanya akan sangat bersemangat dan bahagia ketika ujian usai, hanya tinggal menunggu hari perpulangan. Seperti biasa, satu hari sebelum hari perpulangan tiba, kami para santri akan dikumpulkan dan diberi wejangan sebelum pulang oleh pimpinan pondok. Kuliah etiket namanya, adalah sebuah kegiatan sebelum perpulangan yang selalu ditunggu oleh seluruh santri. Sebetulnya kegiatan ini dinantikan bukan karena tertarik dengan wejangannya, akan tetapi hanya tertarik sebagai pengingat jika hari esok sudah menjadi waktunya untuk liburan.

Kala itu saya sangat ingat bagaimana kyai kami menjelaskan tentang hakikat pulang. Bahwa pulang itu bisa berarti kembali. Pemaknaan kembali ini bisa terbagi menjadi banyak hal, kembali kepada jiwa yang fitrah, kembali pada jalan yang lurus, hingga kembali pada akhirat. Pembahasan ini berlanjut pada bagaimana terkadang seseorang lupa pada asalnya, lupa jika ia hanyalah seorang makhluk yang harus kembali pada tuhannya, harus kembali menyerahkan segala urusan duniawinya pada sang rabb pencipta alam.

Terkadang manusia lupa bahwa hadirnya di dunia ini atas kehendak Allah SWT, sehingga berbuat semaunya. Ketika dilanda kesulitan, beberapa insan akan berpikir bahwa tuhan tidak menyayanginya, padahal boleh jadi jika ia menyampaikan kehendaknya dan menyerahkan dirinya pada sang penguasa Arsy’ maka Allah SWT akan membantunya.

Perasaan sombong terkadang membuat seorang insan cenderung malas untuk kembali pulang. Sebagai contoh adalah ketika seseorang sudah sukses dan sombong, tak jarang ia akan enggan untuk pulang kerumahnya, tempat ia dibesarkan dan mengalami masa-masa sulit. Begitu pula pada hubungan antara hamba dengan tuhannya. Terkadang jika seorang hamba sudah merasa sombong, maka ia akan jarang bahkan enggan untuk kembali pada tuhannya.

Kakkkk! Aku disiniiii!

Suara cempreng khas anak kecil yang familiar menyapa telinga saya, membuyarkan lamunan masa lalu yang asik terulang tanpa permisi. Ah rupa-rupanya keluarga saya sudah tiba menjemput di stasiun kereta. Melihat sosok adik yang berlari menghambur ke pelukan saya membuat saya berpikir untuk kesekian kalinya.

Apa alasan saya untuk pulang? Dan apa alasan saya untuk tetap tinggal di perantauan?

Jelas alasan terbesar saya untuk pulang adalah sosok adik manis dan sosok keluarga yang menanti menjadi satu alasan saya untuk pulang, atau boleh saja kita sebut mudik.

Komentar