Islamsantun.org – Barangkali ketika ditanya “apa yang dapat diambil dari momen Ramadhan?” saya hanya akan menjawabnya satu: gairah belajar! Ketika sebuah “laku” dan gairah dalam proses belajar begitu murni yang tidak bisa diketemukan padanannya di waktu lain. Saat malam terasa begitu panjang dan hening.

Adalah tradisi yang masih tersisa dari proses belajar ketika dulu berkesempatan belajar di pondok pesantren. Kala itu momen ramadhan adalah waktu terbaik untuk ngaji dan mendaras kitab. Bayangkan saja, dalam satu hari saya dapat menghadiri lima majelis kajian kitab, mulai dari pagi hingga tengah malam. Merasa ngantuk ketika jam sekolah tentu menjadi keniscayaan.

Selepas usai ngaji saya masih sibuk untuk sesekali mendaras kitab dan lebih sering mempersiapkan makanan sahur dengan sedikit kawan santri. Saya lebih suka memasak meski kawan lain lebih banyak memilih menikmati sahur di warung.

Enam tahun sudah ketika keadaan memutuskan usai menjalani hidup pesantren, hingga hari ini bayangan romantis itu masih senantiasa menggelayut di kepala.

Entah mengapa saya tidak tertarik dengan narasi dan agitasi untuk menumpuk pahala individualistik seperti yang lumrah ditemui.

Mencoba Kontekstualisasi

Apa yang saya dapatkan dan rasakan tentu menjadi pengalaman subyektif yang tak bisa dirasakan semua orang bahkan sesama santri pun. Kendati demikian, demi tak tercerabutnya perasaan romantis itu upaya reaktualisasi-kontekstualisasi menjadi pilihan.

Empat tahun lalu saya bersama beberapa karib bersepakat mendirikan platform pendidikan kontekstual di desa tempat tinggal. Orang lain biasa menyebutnya sanggar, dan “Selasar Jagarumeksa” kami menyebutnya. Dengan spirit kontekstual pula kami sematkan nama Jagarumeksa yang merupakan sosok murid Ki Ageng Gribig yang disemayamkan di desa kami. Konon beliaulah sosok pendiri desa.

Melalui Selasar kami belajar sesuatu yang amat dekat namun acap tak terlihat. Sebab pendidikan yang baik hari ini adalah justru ketika mampu mencerabut murid dari pengetahuan lingkungan sekitar. Semakin ia pandai di sekolah semakin ia terpisah dari lingkungannya. Bukankah begitu?

Kami mempelajari lokalitas, egalitarianisme kaum biasa, budaya sendiri, pertanian, ekologi pedesaan, gotong royong, sejarah sendiri, dan tentu spirit laku dari sosok Jagarumeksa. Sebuah misi yang absurd di zaman ini.

Ramadhan tiba, gairah ketika di pondok bergelayut. Hanya saja saya tak mampu mengejawantah perasaan itu kepada kawan yang dalam budaya-tradisi amat jauh dengan apa yang saya alami. Beruntungnya, kami bersepakat untuk merayakan momen ramadhan. Lalu apa yang kami lakukan?

Tanpa tendensi membandingkan, kami berupaya keluar dari agitasi agamawan yang individualistik. Selasar justru mengadakan diskusi kelas-kelas pemikiran dan bedah buku yang dekat dengan kehidupan kami sebagai ‘anak desa’. Barang pelajaran itulah yang kami butuhkan hari ini selain kajian klise keagamaan. Kami saling belajar, semua murid-semua guru.

Kendati tanpa kajian keagamaan yang ketat seperti yang saya dapat di pesantren, saya justru belajar banyak dalam interaksi ini. Abangan, seperti yang disebut Geertz, seperti mayoritas kawan saya memiliki kultur egalitarian yang kiranya amat relevan hari ini. Saat patronase dan komersialisasi mengebiri talenta-bakat anak muda yang sedang bertumbuh.

Tentu bahwa belajar dan ilmu pengetahuan membutuhkan otoritas, namun sejauh mana hari ini dapat ditemui simbol otoritas mampu mengakselerasi kebutuhan murid untuk menjadi manusia kecuali hanya menjadi beban formalistik saja. Saat kampus atau lembaga pendidikan formal hanya peduli dengan sisi administrasi alih-alih menyelenggarakan pendidikan yang semestinya, selain sisi komersil menjadi wajah dominan yang kian tak tergayuh bagi lapisan paling rentan masyarakat hari ini.

Kritik Pendidikan

Salah satu problem utama pendidikan Indonesia hari ini adalah upaya menempatkannya sebagai intrumen penyokong pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi dengan menegasikan aspek lain. Masa bodoh ketika pendidikan justru melahirkan robot perusahaan hingga bandit uang rakyat.

Berkat paradigma kebijakan pendidikan inilah menjadikan pemicu problem tak sederhana. Komersialisasi pendidikan dibarengi struktur korup lembaga pendidikan benar-benar mengekslusi lapisan masyarakat rentan. Tren UKT yang selalu naik tak dibarengi dengan fasilitas berikut jaringan yang layak  semakin memperparah kerentanan kaum miskin yang berharap pendidikan akan mengentaskan dari kemiskinan (untuk lengkapnya bisa simak riset SMERU Institute).

Di desa-desa seperti tempat saya tinggal keadaan kian tak berpihak. Meski angka partisipasi pendidikan tinggi memang mengalami kenaikan tak juga mampu menjadi variabel utama masyarakat keluar dari jerat kemiskinan. Tetap saja lebih banyak yang tak mampu daripada sebaliknya. Struktur korup elite desa yang hanya memberi akses terhadap sesamanya menjadi pemicu pemuda desa tanpa pengetahuan dan keterampilan lokal memilih bermigrasi ke kota dengan beragam kerentanan. Apakah migrasi selalu menjawab?

Oleh karenanya pendidikan yang berpihak dan kontekstual adalah sebuah wacana alternatif yang perlu diupayakan. Memang saya memimpikan selasar Jagarumeksa sebagai bagian dari dinamika ini. Sejauh dan sedekat apapun hasilnya. Dan dari sini pula saya memahami bahwa pendidikan tak sesederhana klaim akademisi kampus yang sibuk berteori “transformasi” tanpa keberpihakan.

Komentar