Islamsantun.org – “Marhaban tiba, marhaban tiba, marhaban tiba, marhaban ya Ramadan…..” dua tahun belakangan ini lirik lagu itu viral, bertebaran di media sosial saban akhir bulan Sya’ban. Lebih parahnya, lagu itu dinyanyikan oleh salah satu penyanyi papan atas nasional. Ya, kita tahu bahwa lagu gubahan Opik itu dilantunkan of the track alias kurang tepat. Yang benar adalah “Ramadan tiba, Ramadan tiba, Ramadan tiba. Marhaban ya Ramadan….”
Jangan salah, di bulan suci Ramadan – yang sebentar lagi berlalu – ini, tentu saya tidak akan mengajak kalian untuk membully, apalagi menertawakan kesalahan konyol yang dilakukan penyanyi top itu. Namun, saya ingin menyinggung sedikit perihal lagu “Ramadan Tiba”, lagu yang barangkali paling populer di Indonesia menjelang bulan Ramadan.
Tidak mengherankan apabila lagu itu viral, menuai sambutan positif banyak orang. Pasalnya, umat muslim di manapun berada, tentu saja menyambut bulan Ramadan dengan riang gembira dan bersuka cita, karena Ramadan adalah bulan mulia. Beragam aktivitas pun dilakukan untuk mengekspresikannya, dari mulai bersih-bersih rumah, masjid, musala, makam, dan lain sebagainya.
Perasaan penuh bahagia itu juga dirasakan oleh para santri di seluruh penjuru Nusantara. Biasanya, mereka memanfaatkan Ramadan sebagai ajang student exchange, atau lebih tepatnya keluar dari pesantren asal menuju pesantren lain guna menimba ilmu sekaligus plesiran. Kegiatan macam itu kemudian dikenal dengan istilah ngaji pasan atau kilatan, ada juga yang menyebutnya ngaji pasaran.
Ngaji Pasan/Kilatan/Pasaran
Bagi kalangan santri tradisi ngaji pasan bukanlah barang baru. Namun, bagi sebagian orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren, boleh jadi istilah itu terdengar asing di telinga mereka. Lantas, apa sebenarnya ngaji pasan, kilatan, atawa pasaran itu?
Sesuai namanya, Ngaji pasan berasal dari dua suku kata, yakni ngaji dan pasan. Ngaji sendiri adalah bahasa Jawa yang berasal dari kata “aji”, yang memiliki makna kemulian. Adapun imbuhan “ng” mengandung makna berproses. Pendek kata ngaji adalah sebuah proses menuju kemulian. Sementara kata pasan berasal dari kata pasa atau bulan puasa. Jadi, ngaji pasan adalah proses menuju kemulian atau belajar di bulan puasa.
Selain istilah ngaji pasan, ada juga yang menyebutnya dengan ngaji kilatan. Sebab, ngaji di bulan puasa itu berbeda dengan ngaji di bulan-bulan lainnya. Di bulan puasa, kiai dan santri ngajinya ngebut, bisa mengkhatamkan banyak kitab selama bulan Ramadan. Padahal, normalnya, menuntaskan banyak kitab itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar, butuh waktu bertahun-tahun. Namun, ngaji di bulan Ramadan intensitasnya tinggi, dilakukan secara kilat dari pagi selepas shubuh hingga larut malam. Maka kemudian dikenal dengan ngaji kilatan.
Terakhir, ada juga yang menyebut dengan istilah ngaji pasaran. Disebut ngaji pasaran karena mengaji kitab lebih banyak ketimbang hari-hari biasa. Selain itu, para santri (baik santri dari pesantren asal maupun pesantren lain) di bulan Ramadan belanja beragam ilmu dari kitab-kitab yang dikaji, sementara sang kiai memasarkan ilmunya.
Manfaat Ngaji Pasan/Kilatan/Pasaran
Di kota kelahiran saya, Rembang, tatkala Ramadan tiba, banyak pengunjung berdatangan. Mereka adalah para santri dari berbagai pesantren di Jawa. Ada yang dari Pesantren Lirboyo, Ploso Kediri, Pacul Gowang Jombang, Langitan Tuban, Mlangi Jogja, Brabu Grobogan dan banyak yang lain. Mereka berbondong-bondong datang ke Rembang untuk ngaji pasan di beberapa pesantren, ada yang ke pesantrennya Gus Mus, Leteh, ada yang ke pesantrennya Gus Baha, Gus Qoyyum Lasem, dan ada juga yang ke Pesantren Sarang.
Bahkan, salah satu teman saya dari Banyuwangi, Muhammad Arwani namanya, sudah 10 kali ikut ngaji pasan. Kali pertama ia ngaji pasan di Pesantren Yasinat, Ambulu, Jember pada tahun 2007. Selanjutnya, pada tahun 2008 ia ke Pesantren Ashidiqi Banyuwangi. Absen di tahun 2009 karena satu hal, kemudian pada tahun 2010 ia ke Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun 2011 – 2017 kang Arwani, demikian saya memanggilnya, berturut-turut ngaji pasan ke Pesantren Roudlutut Thalibin, Leteh, Rembang asuhan Gus Mus. Pada tahun 2016 itulah kami bertemu, di saat ngaji pasan bersama.
Saat saya tanya kepadanya, apa motivasi ngaji pasan sampai 10 tahun berturut-turut. Ia menjawab degan santuy. Ia sengaja memaksa dirinya untuk selalu ngaji pasan, sebab bagi dia Ramadan adalah waktu berkah buat mencari ilmu dan mencari ridla Allah.
“Ya, saya sengaja memaksa diri sendiri untuk selalu ngaji di bulan Ramadan. Bagi saya Ramadan adalah waktu yang tepat untuk belajar. Selain itu, ada banyak manfaat ngaji pasan, di antaranya adalah dapat mengkaji banyak kitab, mengkhatamkan kitab dalam waktu singkat, ngalap berkah, dan yang tidak kalah penting dari itu semua ialah mencari sanad keilmuan,” ujar Kang Arwani.
Tentu saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Kang Arwani. Bagi saya, ngaji pasan sangatlah seru bahkan kelewat asyik. Bagaimana tidak, di sana kita akan menjumpai banyak teman, bisa ngopi bareng, bertukar pengalaman dan tentu saja cerita ihwal pesantren asalnya. Dari mulai metode, kitab yang dipelajari, hingga cerita perihal kealiman kiai atau guru-guru meraka.
Bukan hanya itu, ngaji pasan juga menjadi alternatif untuk rehat sejenak, melepas kejenuhan dari beragam aktivitas di pesantren, seperti hafalan nadzom imrithi, alfiyyah, shorof, dll. Ngaji pasan juga menjadi tempat berkumpulnya santri dari berbagai pesantren. Hal demikian tentu menjadi ajang silaturahmi sekaligus menjadi medium jejaring sanad ilmu, sebagaimana yang telah dilakukan para ulama pendahulu kita.
Apakah Anda tertarik untuk ngaji pasan?