Islamsantun.org – Di Indonesia, Ramadan adalah bulan istimewa. Banyak hal berubah ketika Ramadan datang. Jam kerja hingga jam sekolah mengalami penyesuaian. Hampir semua media televisi hingga radio membuat acara agar terlihat “sangat Ramadan.” Waktu utama atau prime time televisi juga berubah, waktu jelang berbuka yakni sekitar jam 17.00 dan jelang waktu sahur yakni sekitar jam 03.00 adalah waktu dimana banyak tayangan unggulan dari televisi. Hal ini sejatinya makin menegaskan bahwa agama di dalam kehidupan masyarakat Indonesia merupakan aspek penting dalam keseharian. Tidak terkecuali ketika menyambut datangnya bulan suci Ramadan.
Jangan lupakan juga tempat perbelanjaan, warung makanan hingga toko khusus penjual pakaian. Kunjungannya tidak kalah dengan orang yang memenuhi masjid, langgar hingga musola. Belum lagi tempat masuk ke kampong dan jalanan di dalam kampong dipenuhi dengan ucapan selamat Ramadan dan narasi pendek yang berisi ajakan mengisi Ramadan dengan hal-hal baik. Pendeknya, ruang publik kita menjadi ruang publik Ramadan, semua berisi tentang hal ihwal Ramadan.
Saya ingat juga di awal reformasi dulu, keriuhan jelang dan di awal Ramadan diwarnai pula dengan aksi menyisir warung-warung makan hingga diskotik. Sekelompok orang dengan mengatasnamakan perwakilan umat muslim memaksa warung makan untuk tutup terutama di siang hari bulan Ramadan. Seolah ingin mengatakan bahwa sebagai umat muslim yang hendak menjalankan ibadah puasa Ramadan merasa ingin dihormati dan dijaga dari “godaan” warung makan yang buka di siang hari pada bulan Ramadan. Beberapa tahun terakhir ini, peristiwa semacam ini sudah semakin tidak terdengar lagi.
***
Selama bulan Ramadan, isu makan dan minum di ruang publik merupakan satu diantara hal menarik yang terus menjadi bahan perbincangan. Di Indonesia, meski mayoritas umat muslim, sejatinya tidak ada larangan bagi warung makan untuk tutup di siang bulan Ramadan. Yang ada biasanya adalah himbauan agar warung tidak buka atau buka tetapi diberi tirai atau pintunya dibuka separo. Kita bisa menemukan orang makan dan minum di ruang publik, warung kaki lima di pinggir jalan maupun restoran yang tutup tetapi di depan pintu ada tulisan, “buka.”
Selain itu, tidak ada pula larangan bagi non muslim, misalnya, untuk tidak makan dan minum atau merokok di ruang publik selama bulan Ramadan. Tidak ada pula polisi khusus selama Ramadan yang mengawasi orang yang makan atau minum di ruang publik. Negara juga tidak mendesain adanya hukuman bagi orang yang ketahuan muslim dan sedang makan di warung pada siang hari bulan Ramadan.
Apa yang terjadi di Indonesia tampaknya manifestasi dari pemahaman bahwa puasa Ramadan adalah diniatkan untuk menjalankan perintah Allah dan hanya untuk mencari ridho-Nya. Narasi yang demikian mendorong sebagian besar komunitas muslim tidak menuntut larangan makan dan minum di ruang publik. Karena berpuasa sejatinya prilaku dan pengalaman individu yang tidak mudah dilihat secara fisik. Apalagi sebagai muslim yang berpuasa juga tidak meminta dihormati secara berlebihan.
Tidak sebagaimana ibadah haji yang jelas ritual dan pergi ke Mekkah atau ibadah sholat yang bisa terlihat ketika seorang pergi ke masjid atau musola, maka puasa menjadi ibadah yang sebetulnya berada pada wilayah privat. Karena tanggung jawab ibadahnya sejatinya berada pada individu pelaksana ibadah puasa Ramadan tadi. Ia juga tidak memiliki embel-embel gelar seperti haji. Pun, strata social juga tidak berubah selayaknya orang yang pergi haji lalu pulang dipanggil pak haji atau bu hajjah. Inilah uniknya puasa Ramadan. Ibadah privat yang dirayakan secara publik.
Lebih dari itu, praktik puasa Ramadan di Indonesia juga menunjukkan wajah Islam yang ramah. Bandingkan dengan negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya. Di Uni Emirat Arab, misalnya, warga non-Muslim tidak harus berpuasa di bulan Ramadhan, namun mereka dilarang makan, minum dan merokok di tempat umum selama jam puasa. (https://u.ae/en/information-and-services/public-holidays-and-religious-affairs/ramadan/diakses pada 4 April 2023). Di Indonesia, bahkan orang muslim yang memenuhi syarat puasa saja kadang tidak berpuasa.
Hal ini semakin menegaskan bahwa pola keberagamaan muslim di Indonesia adalah pola unik yang sangat khas. Meski ruang publik di Indonesia sangat bernuansa Ramadan, tetapi aspek toleransinya juga sangat tinggi. Berpuasa atau tidak diserahkan kepada individu masing-masing. Inilah kenikmatan berpuasa di negeri Pancasila. Keyakinan yang sifatnya privat bisa dirayakan secara ke-publik-an, tetapi seminimal mungkin tidak mengganggu orang yang berbeda keyakinan.