Islamsantun.org – Saya menemukan majalah Tempo bertarikh 11 April 1992 di sebuah toko buku bekas. Saya beli majalah itu lantaran edisi tersebut mengangkat satu laporan yang menarik. Di sampulnya ada judul yang mencuri perhatian: Boom Dai; Dari Rendra sampai Qomar. Judul itu ditopang foto empat pesohor: Sitoresmi Prabuningrat, Haji Qomar, Zainuddin Mz dan Rendra. Edisi itu memang mengupas tren “dai baru” yang sedang ramai dibincangkan masyarakat. Dai-dai yang berasal dari luar jalur pendakwah konvesional.
Sebetulnya, tahun 1992 terasa begitu jauh bagi saya. Tahun itu usia saya masih dua tahun. Walakin, lamat-lamat saya masih ingat betapa populernya dakwah Zainuddin Mz ketika saya kecil dulu. Bahkan, kata nenek saya, dulu saya sering menirukan gaya bicara Zainuddin Mz ketika sedang ceramah. Hanya saja, saya tak ingat jika Rendra, Haji Qomar, Harry Mukti, Sitoresmi, Tio Pakusadewo dan sederet nama pesohor lain pernah masuk dunia dakwah dan bahkan sangat moncer di masanya.
Terbitnya Para Dai
Laporan “Dai-Dai Baru Bak Matahari Terbit” dibuka dengan kisah Rendra, sang penyair, yang berdakwah di sebuah hotel di Medan. Disebutkan bahwa para jamaah tampak puas dengan “dakwah” Rendra meski berbayar Rp 25.000, lantaran Rendra banyak menyisipkan humor dalam ceramahnya. Patut diduga, dakwah Rendra berhasil memukau audience karena urusan menaklukkan panggung dan menghipnotis penonton sudah biasa ia lakukan. Yang terasa tidak biasa adalah karena Rendra jelas tidak berlatar pesantren dan bukan pengkaji agama Islam namun “berani berdakwah”. Tapi, jangan-jangan justru itu yang menarik bagi penonton.
Rendra masuk Islam tahun 1970 setelah ia mementaskan Kasidah Barzanji terjemahan Syu’bah Asa. Konon, sejak kecil ia suka mendengar orang mengaji dan ia akan sembuh dari sakit jika mendengar lantunan ayat Al-Qur’an. Rendra juga kemudian bergabung dengan Yayasan Hira yang diasuh Zainuddin Mz dan selanjutnya mantap berdakwah.
Kisah Neno Warisman lain lagi. Penyayi, bintang sinetron dan pembaca puisi itu tegerak untuk berdakwah setelah merasakan ada “dorongan dalam dirinya yang membuatnya ingin menyampaikan sesuatu bernapaskan Islam”. Itu senada dengan cerita Harry Mukti yang dulu dikenal sebagai rocker.
Ia mendalami Islam setelah berdialog dengan remaja-remaja muslim di Al-Azhar, Jakarta Selatan. Pilihan yang diambil adalah meninggalkan “dunia hitam” dan menempuh jalan dakwah. Dalam suatu wawancara ia menyebut bahwa untuk jadi pendakwah tak harus belajar di pesantren.
Dakwah para seleb ini tentu tak lepas dari pro kontra. Respons para tokoh terkait selebritas yang berdakwah menarik dicermati. Bambang Pranowo menyebut datanya dai dari “dunia lain” itu sah saja. Karena dalam Islam tidak ada ujian tertentu untuk jadi pendakwah. Status keulamaan itu pemberian masyarakat. Justru dakwah dari mereka yang bukan santri bisa jadi lebih menarik dan menggugah.
Martin van Bruinnessen mencermati munculnya dai baru sebagai proses santrinisasi. Hanya saja santrinisasi yang terjadi saat itu cuma di permukaan saja. Martin melihat budaya di Indonesia adalah budaya mendengar, bukan budaya membaca. Itulah kenapa dai-dai baru mudah diterima masyarakat.
Tema dan Metode Dakwah
Para selebritas yang memilih jadi pendakwah itu umumnya tidak membahas tema-tema yang “berat”. Contohnya Sitoresmi, artis yang juga mantan istri Rendra. Ia lebih senang bercerita tentang bagaimana ia bisa mengenal Islam. Tak jauh berbeda, Rendra kerap menceritakan pengalamannya naik haji dan kisah persentuhan batinnya dengan Islam. Ia tak mengutip ayat-ayat atau hadis-hadis dalam dakwahnya.
Sedangkan Kang Ibing, pelawak terkenal masa itu, membahas Islam sehari-hari, seperti larangan bergunjing, anjuran mencari rezeki halal dan tema-tema sejenis. Mereka memilih untuk tak membahas fikih yang jelimet, sejarah Islam atau bahasan-bahasan berbobot lainnya.
Para “dai baru” dari kalangan selebritas itu disukai lantaran mereka populer dan pandai membawa diri di panggung. Salah satu “jamaah” Sitoresmi mengaku bahwa gaya penyampaian Sitoresmi begitu memukau: volume suaranya enak didengar, lembut, kadang-kadang menghentak kalau perlu, dan diiringi ekspresi wajah yang menarik. Bagi Sitoresmi, yang mantan pemain drama di Bengkel Teater Rendra, tentu tak sulit melakoni hal tersebut.
Sedikit berbeda, Haji Qomar dan Kang Ibing yang berlatar belakang pelawak menggunakan kelakar sebagai tulang punggung dakwahnya. Haji Qomar bahkan menyatakan bahwa dakwahnya yang rutin di Radio Suara Kejayaan mengandung 70% lawak dan 30% dakwah.
Pilihan tema para “dai baru” ini menarik diperhatikan. Mereka tampak “sadar diri” dengan tidak membicarakan tema yang tidak mereka kuasai. Ini mengingatkan saya pada para mualaf yang masuk kancah dakwah. Umumnya mereka bercerita pengalaman masuk Islam saat berada di panggung. Itu lebih aman, tentu saja. Dan mungkin lebih menyentuh, terutama bagi muslim di perkoataan. Yang terpenting, dakwah para mualaf haruslah menjadi dakwah yang santun, tidak perlu mencaci maki agama mereka sebelumnya dan menebar benci.
Magnet Popularitas
Dalam suatu ceramah agama di UNS Solo, Sitoresmi justru mendapat pertanyaan-pertannyaan di luar tema utama. Ada jamaah yang bertanya mengapa Sitoresmi memilih berjilbab, mengapa memilih jadi dai, apakah masih main sinetron dst. Popularitas nyatanya memang menjadi magnet. Hal itu juga terjadi pada Tio Pakusadewo. Saat ia berdakwah di Masjid Sunda Kelapa, audience gegap gempita memenuhi masjid. Saat itu Tio baru saja memenangkan Piala Citra, sangat terkenal dan diketahui telah “berhijrah”.
Popularitas itu yang membuat jadwal dakwah para dai selebritas mendadak jadi sangat padat. Sitoresmi dalam sebulan bisa memberi ceramah di 65 titik. Kang Ibing bisa keliling Jawa dan Sumatra juga lantaran dakwah. Ia mengaku dapat membangun madrasah dan masjid dari honor bertablig.
Pun demikian, popularitas ini sebetulnya seperti jam pasir. Ia terus begerak, begitu perlahan dan suatu saat akan surut. Hari ini mungkin selebritas A populer sebegai pendakwah, namun jika “habis masanya” ia akan redup dan hilang. Lebih-lebih mereka sejatinya tidak punya jejak rekam dan kemantangan sebagai pendakwah. Tidak secara khusus dan mendalam belajar agama. Terkesan instan dan aji mumpung.
Jalaludin Rakhmat memandang dai-dai baru itu sebagai “dai kagetan”. Ia menyoroti mudahnya seorang dicap sebagai dai hanya setelah ikut kursus dakwah beberapa hari dan ikut pesantren kilat. Selain itu, ia meragukan apakah para dai baru itu akan terus berdakwah, mengingat bekalnya saat ini hanya sedikit pemahaman agama dan popularitas.
Selaras dengan Jalaludin, Abdul Munir Mulkhan berpendapat bahwa fenomena maraknya dai dari kalangan non-santri tidak akan bertahan lama. Baginya ini sekadar “hura-hura” belaka. Lama-lama masyarakat akan bosan dan mereka akan ditinggalkan.
Otoritas Keagamaan
Dari majalah Tempo tahun 1992 itu saya jadi tahu bahwa soal otoritas keagamaan rupanya sudah jadi perbicangan sejak dulu kala. Rupanya tren para pesohor yang “hijrah” dan masuk ke ranah dakwah bukan hanya terjadi baru-baru ini. Bedanya, isu otoritas kegamaan hari ini juga ditambah “runyam” dengan semakin masifnya penggunaan media sosial, yang mau tak mau juga turut mengubah perilaku masyarakat kita dalam menyesap informasi, termasuk informasi keagamaan.
Usai pembaca laporan Tempo itu saya lantas termangu dan bertanya-tanya: apakah tren pesohor jadi pendakwah akan terus berlanjut? Apakah itu “baik” untuk dakwah di Indonesia? Apakah otoritas keagamaan tradisional makin terancam dengan kehadiran dai-dari baru itu? Bagaimana sikap kita terhadap dai-dai yang tidak pernah mengenyam pesantren dan baru belajar Islam itu?
Adakah Anda punya jawabnya?