Sungguh merupakan suatu kenekatan bagiku mengulas buku tentang kopi padahal diri ini bukan peminum apalagi penikmat kopi. Bukan kenekatan baru karena sebelumnya pernah kutulis esai tentang kopi berjudul “Kopi dan Keterasingan”. Di dalam esai itu aku menulis kopi menempati kasta tertinggi dalam dunia perwedangan. Ia disebut dalam puisi, prosa, sampai caption Instagram. Dewi “Dee” Lestari menulis Filosofi Kopi, Joko Pinurbo menggurit Surat Kopi, Yetti AKA punya Peri Kopi, sampai Ekohm Abiyasa dengan Malam Sekopi Sunyi-nya. Filosofi Kopi membuat teman-temanku rese dalam hal minum kopi. Ketika barista meracikkan kopi untuk mereka, pasti akan ditanya-tanya dulu, ini kopi dari mana, proses pembuatannya bagaimana, komposisinya seberapa. Setelah terhidang di meja, mereka pun akan cerita ngalor ngidul dulu tentang kopi. Pembicaraan yang membuatku tidak nyambung dan sering menerima ledekan karena aku peminum susu. Kataanya seorang peminum susu itu tidak punya ideologi, susu melambangkan duniawi, tidak seperti kopi yang rasanya sudah paripurna. Tak lupa mereka melemparkan kata-kata dari Jokpin “kopi membuat matamu menyala, susu membuatmu manja.”
Evi Sri Rezeki, seorang mojang Priangan menyajikan kopi dalam bentuk yang berbeda. Babad Kopi Parahyangan, ia menamai sajian kopinya, sebuah novel pembuka tetralogi yang ia rencanakan. Novel yang tebal dan padat. Jenis buku yang tidak bisa dibaca cepat karena selain tata letaknya yang padat, juga butuh waktu untuk merenungkan isinya. Evi membuka ceritanya dengan latar masa kini dalam prolognya. Pertemuan tokoh Kenikir dan Khapi si pemilik kedai menjadi mukadimah untuk masuk ke dalam cerita inti novel ini, sebuah alur kilas balik ke masa lalu.
Membaca bab pertama novel ini kita bisa membayangkan suasana kultur orang Minang dengan kedai kopinya. Sebuah kedai kopi di pelabuhan ujung Batang Arau, pantai Barat Sumatra yang selalu ramai oleh pelaut, buruh angkut, pengelana dan saudagar lengkap dengan primadona kedai yang cantik, Uni Fatimah. Suasana kedai yang berisik, penuh dengan pembual, dan tidak jarang muncul juga pertengkaran. Kita diperkenalkan dengan tokoh Si Pelaut yang digambarkan seseorang pandai bercerita.
“Di tanah Parahyangan,” ucapnya, “aku bisa minum segelas kopi yang rasanya puluhan kali lebih nikmat dari ini!”
“Begitu, Bang?” tanya Uni pemilik kedai. Raut wajah perempuan itu kembali semringah. Adalah impian Karim dan Uni pemilik kedai juga banyak orang di sana bisa meneguk nikmatnya segelas kopi. (hlm. 11)
Dari percakapan Si Pelaut dan Uni Fatimah, pembaca diberi informasi bahwa di Padang saat itu mereka hanya bisa minum kopi hasil olahan daun kopi yang mereka sebut kopi kawa daun. Kita diberitahu bahwa ada tempat yang mereka sebut dengan surga emas hitam, tanah Parahyangan. Di sini kita diperkenalkan tokoh sentral dalam novel ini, Karim. Anak bujang Minang yang terobsesi dengan emas hitam Parahyangan, ia tinggalkan kampungnya demi mengejar impiannya menjadi saudagar kopi. Perjalanan Karim bersama Si Pelaut dan temannya bernama Ote bisa kita nikmati seperti mendengarkan dongeng dengan Si Pelaut sebagai pendongengnya. Kita diajak mendaras sejarah kopi dari asalnya di jazirah Arab sampai kenusantara, terutama pulau Jawa dan wabil khusus di Parahyangan. Betapa panjang, melelahkan, dan banyak darah yang tertumpah karena si emas hitam.
Kolonialisme dalam Secangkir Kopi
Beberapa hari ini di lini masa twitterku beredar meme dark joke khas Twitter yang mungkin kalau dibawa ke platform lain akan membuat geger karena berbau SARA. Salah satu yang menarik perhatianku adalah meme yang bergambar gubernur jenderal Daendels dengan tulisan “Opini yang bagus, Jawa. Sekarang cor jalan.” Meme ini mengingatkanku dengan bagian novel ini. Kekejaman Daendels sungguh melegenda yang terabadikan dengan jalan yang dibangunnya, Groote Postweg atau Jalan Raya Pos. Jalan yang dibangun dengan menumbalkan banyak manusia. Jalan yang sedianya digunakan sebagai jalur mengangkut hasil kebun, terutama kopi namun akhirnya hanya menjadi pagar hidup bagi rakyat. Obsesi kompeni terhadap kopi Jawa memang membuat mereka menghalalkan segala cara. Kopi Jawa memang memiliki kualitas terbaik. Hingga muncul kata-kata legendaris “kelak, sajikan untukku secangkir Jawa,” karena Jawa adalah kopi itu sendiri. Bukankah logo aplikasi Java memang secangkir kopi yang masih berasap, bukan?
Penulis novel ini membawa kita ikut menderita merasakan kolonialisme. Orang-orang terpaksa meninggalkan tanah ladangnya demi kewajiban tanam paksa. Para pejabat menjilat kompeni agar bisa tetap hidup makmur. Penderitaan petani kopi digambarkan dalam suatu perkebunan kopi yang tidak manusiawi. Tidak ada makanan yang layak, tempat tinggal yang layak, dan sarana kesehatan yang layak. Jika mereka melawan, siap-siap dihabisi oleh pasukan Jayengsekar dan mandor yang kejam. Dalam satu bab dikatakan bahwa musim kikir memanggil para petani mengubur nyawa di bawah rumpun kopi. Tidak salah memang dalam secangkir kopi atau teh apalagi ditambah gula, dulu dihasilkan dari pertumpahan darah saudara kita.
Masyarakat kita sudah terbiasa menyiasati suatu hal dengan hal lain untuk menghibur diri dari kesedihan. Diceritakan bahwa minuman kopi adalah minuman terlarang bagi rakyat jelata, ketahuan meminumnya nyawa yang menjadi taruhannya. Mereka mengumpulkan biji kopi yang dihasilkan dari sisa pencernaan hewan luwak yang di situ disebut dengan nama lokal “cereuh bulan”. Kompeni tidak doyan makan kopi bercampur tahi. Siapa sangka sekarang kopi dari tahi luwak menjadi kopi yang mahal dan mewah? Di novel ini kita juga banyak mengenal jenis kopi dan cara mengolahnya, termasuk cara mengolah kopi sisa pencernaan cereuh bulan.
Peran Perempuan
Kita boleh diperkenalkan dengan lelaki-lelaki perkasa secara kekuatan fisik ataupun pengaruh baik di novel ini. Sebut saja Si Pelaut, Karim, Kang Asep, Kang Ateng, mandor Satria dan Raden Arya Kusumah Jaya. Namun penulis novel ini tidak mau menafikan peran perempuan dalam cerita. Penulis membuka cerita dengan latar Minangkabau yang terkenal dengan budaya matrinialisme. Ada Amak Karim digambarkan sosok ibu yang tegar yang selalu mendukung cita-cita anaknya. Uni Fatimah digambarkan perempuan yang tidak mau tunduk dengan lelaki walaupun setiap hari ia dikelilingi oleh para lelaki. Uni Fatimah adalah perempuan yang punya pendirian dan otoritas terhadap tubuhnya sendiri.
Jangan lupakan Euis, tokoh sentral dalam novel ini. Perempuan berpendidikan sekolah Belanda dan serba bisa. Dari membaca dan menulis, pandai dalam ilmu pengobatan, pintar memasak, bersiasat, menembang pupuh Asmaradana, bertahan hidup di hutan, serta melawan dominasi lelaki. Euis memang terluka dan terfitnah, tapi ia menolak untuk dikasihani. Membakar rambut dan wajah adalah bentuk perlawanan daripada harus menjadi gundik Belanda.Ingatan kita melayang pada sosok Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia dalam hal keperkasaan perempuan di zaman kolonial.
Plesiran Ilmu Pengetahuan
Membaca novel Babad Kopi Parahyangan seperti plesiran ilmu pengetahuan. Kita diajak belajar sejarah kopi yang datang dari negeri-negeri jauh, revolusi Prancis, perebutan rempah-rempah sampai kopi di nusantara, juga mengingat sebentar tentang Max Havelaar-nya Multatuli.
Kita juga banyak diceritakan tentang budaya Minang dan Sunda. Banyak kutipan pepatah Minang dan Sunda yang bisa kita jadikan renungan atau dicontek menjadi caption Instagram. Pupuh Asmaradana yang disajikan menambah imajinasi kita tentang eloknya tanah Sunda. Ditambah nama-nama yang dipakai seperti Euis, Ujang, Asep, Cecep semakin membuat cerita di novel ini menjadi Sunda banget. Dalam beberapa hal kita seperti menonton film laga apalagi ketika Karim mengeluarkan aji-aji Silek Harimaudari tanah Minang untuk mengalahkan musuhnya.
Kita tidak akan kebingungan memahami bahasa dan istilah daerah yang disisipkan karena penulis menjelaskan langsung dalam naskah, pembaca tidak harus direpotkan dengan menengok glosarium di halaman akhir buku.
Seperti racikan kopi dari tanah Parahyangan yang tidak usah menambah gula karena memang sudah manis, cerita di novel ini sudah pas tanpa harus menambah pemanis. Semoga bisa dipertahankan untuk sekuel buku selanjutnya. Tabik.
Judul : Babad Kopi Parahyangan
Penulis : Evi Sri Rezeki
Tahun : 2020
Penerbit : Marjin Kiri
Tebal : i-x+348 halaman
ISBN : 978-979-1260-96-1
Terima kasih review-nya, Teh. Terima kasih apresiasinya 🙂