Judul Buku : Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar!

Penulis  : Kalis Mardiasih

Penerbit : Buku Mojok

Cetakan : Keempat, Juni 2020

ISBN  : 978-602-1318-80-5

Hijrah bukanlah fenomena baru di kalangan masyarakat Islam. Masyarakat memaknai hijrah dengan beragam pandangan yang berbeda-beda. Misalnya seperti fenomena hijrahnya seseorang dari yang awalnya tidak berjilbab menjadi berjilbab. Selain itu, hijrah juga biasa diartikan perubahan penampilan seseorang yang awalnya memakai baju yang serba seksi menjadi memakai baju yang syar’i. Tidak hanya itu, seseorang yang awalnya memiliki tabiat buruk kemudian menjadi baik juga terkadang diberi sebutan hijrah. Memang tidak salah masyarakat memiliki pandangan hijrah yang berbeda-beda. Karena pada intinya hijrah dimaknai masyarakat sebagai proses perubahan menjadi lebih baik.

Setiap orang tentu memiliki cerita hijrah yang berbeda-beda. Seperti yang diceritakan oleh Kalis Mardiasih dalam bukunya yang diberi judul “Hijrah Jangan Jauh-Jauh Nanti Nyasar!” yang mengulas perjalanan hijrah seseorang. Dalam buku ini, Kalis menyuguhkan esai yang mudah dicerna dengan gaya bahasa santai dan mudah dipahami. Membaca buku ini seakan sedang membaca buku harian penulis tentang orang-orang yang pernah ditemuinya dalam proses berhijrah.

Fenomena hijrah yang unik hingga hijrah yang terkesan ekstrem akan mudah ditemukan dalam buku ini. Salah satu cerita hijrah yang kebablasan ini dapat ditemui dalam esai yang berjudul Waktu untuk (Tidak) Radikal. Esai ini menceritakan seorang murid kelas dua belas SMA bernama Bintang yang berperilaku berbeda dari temannya. Orangtuanya bekerja sebagai TKI(Tenaga Kerja Indonesia) sejak ia duduk di bangku SD hingga SMA. Ia menganggap bahwa adanya pendidikan menjadi kedok pemerintah sebagai upaya untuk menghancurkan agama. (halaman 44)

“Guru-guru Bintang pada umumnya menyimpulkan bahwa Bintang sudah terpengaruh aliran agama “garis keras”. Ketika saya menanyakan tempat Bintang belajar mengaji, pihak sekolah hanya menyebut satu nama desa tetangga tanpa bisa menyebut nama masjidnya, warna pengajiannya, atau nama ustaznya. Mereka hanya menerima informasi dari teman-teman Bintang bahwa setiap hari sehabis subuh Bintang mengaji ke Desa X.” (halaman 45)

Anak seusia Bintang memang tergolong masih labil dan cenderung masih mencari jati diri. Bimbingan orangtua masih sangat diperlukan apalagi dalam hal belajar agama. Hal ini tentu bertujuan agar anak dapat memahami agama dengan baik serta tidak terjerumus pada aliran yang ekstrem. Akan tetapi sungguh disayangkan karena faktor ekonomi Bintang harus kehilangan waktu bersama orangtua. Hingga akhirnya mungkin ia merasa kesepian dan belajar agama pada aliran “garis keras”.

Kehidupan yang lebih baik memang perlu diupayakan. Akan tetapi menemani tumbuh kembang anak juga penting. Proses pertumbuhan anak hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Maka dari itu, meskipun orangtua disibukkan dengan bekerja, menjaga komunikasi yang baik dengan anak tetap perlu dilakukan. Sebagai orangtua yang baik, tumbuh kembang anak perlu diperhatikan agar anak tidak mudah terjerumus dalam lingkungan yang buruk.

Esai tersebut adalah salah satu esai yang menarik dari buku ini. Selain itu, masih banyak esai-esai yang disajikan dengan topik tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Fenomena hijrah yang tertuang dalam buku ini tidaklah asing dalam kehidupan masyarakat, atau mungkin pembaca pernah menemui hal seperti yang dituturkan Kalis melalui buku ini. Setiap esai yang disajikan, penulis juga membagikan pendapatnya pada setiap esai yang ditulisnya.

Buku ini seakan mengingatkan pembaca untuk berhijrah secukupnya dan belajar sebanyak-banyaknya. Karena hijrah yang kebablasan akan membuat seseorang menjadi orang yang tidak menghargai perbedaan. Hijrah yang cukup akan membuat kita menjadi pribadi yang sederhana dan menghargai beragam perbedaan. Sedangkan dengan belajar sebanyak-banyaknya akan membuat kita menjadi orang yang terus merasa kurang dalam menggali ilmu agama serta lebih bijak dalam menyikapi perbedaan agama yang dianut oleh seseorang.

Buku dengan tebal 210 halaman ini terdiri dari lima bab yang membahas Islam dari sudut pandang yang berbeda-beda. Seperti Islam dan kebaikan anak-anak, Islam dan kemanusiaan, Islam dan akal sehat, dan sebagainya. Saya sangat terkesan dengan gaya menulis Kalis yang selalu menyajikan Islam dengan gaya yang santai dan tidak terkesan berat untuk dibaca. Dari esai-esai yang dikemukakan dalam buku ini, tampaknya penulis merindukan Islam yang damai. Bukan Islam yang selalu diteriakkan dengan takbir akan tetapi menyebabkan pertumpahan darah.

Pada esai terakhir dari buku ini, Kalis ingin membagikan ceritanya perihal pengalamannya yang pernah mengalami bullying. Ujaran kebencian kerapkali didapatkan Kalis melalui media sosial pribadinya. Sebagai aktivis perempuan, memang tidak mudah untuk mengubah persepsi seseorang akan kedudukan perempuan. Selain itu, tidak semua orang setuju dengan pendapatnya tentang perempuan. Dalam buku-bukunya Kalis kerapkali membahas tentang perempuan. Seperti pada buku yang ditulis sebelumnya dan diberi judul ‘Muslimah yang Diperdebatkan’. Selain berbicara tentang perempuan, ia juga menulis topik tentang Islam termasuk buku ini.

“Aku hampir selalu di-bully karena tulisan-tulisanku yang tersebar di beberapa media. Aku menulis tema Islam sehari-hari. Aku selalu menyebut bahwa sebenarnya aku tidak secara khusus menulis soal Islam sebab apa yang kutulis adalah pengalaman pribadi dan pengalaman orang-orang di sekitarku sebagai pemeluk agama Islam. Setiap pengalaman bersifat autentik dan menarik untuk diceritakan. Setiap pengalaman mestinya sah sebagai realitas keberagaman dan realitas keberagaman…” (halaman 204).

Meskipun sering mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dari netizen akan tetapi Kalis tidak pernah menyurutkan niatnya untuk terus menyebarkan tulisannya tentang perempuan dan Islam yang damai. Perkataan buruk yang seringkali diterima Kalis justru membuatnya semakin rajin untuk menulis. Meskipun awalnya ia merasa down akan tetapi gairahnya untuk terus menulis kian bertambah dan terus berlangsung hingga kini.

Komentar