Dalam Understanding Salafism(Qadhi, 2025), Yasir Qadhi menyuguhkan sebuah sintesis unik dan berani tentang salah satu gerakan Islam paling berpengaruh dan kontroversial dalam dunia Muslim kontemporer: Salafi. Buku ini lahir dari pengalaman hidup Qadhi sebagai mantan Salafi terkemuka yang mendapat pendidikan di Universitas Islam Madinah, kemudian menjadi akademisi di Yale University. Dengan posisi unik sebagai “orang dalam” dan sekaligus “pengamat akademik”, Qadhi mengupas lapis demi lapis doktrin, sejarah, dan transformasi Salafi dengan kedalaman yang jarang dijumpai dalam literatur sebelumnya.

Struktur dan Metodologi Buku

Buku ini terdiri dari enam bab utama dan sebuah epilog reflektif. Bab 1 menyajikan pengantar konseptual yang luas tentang Salafi, termasuk perdebatan definisi dan tipologi internal. Bab 2 menawarkan survei historis mendalam atas akar intelektual Salafi, dari era klasik hingga abad ke-20. Bab 3 menelaah secara kritis hubungan Salafi dan Wahhabi, termasuk biografi dan pemikiran Ibn ‘Abd al-Wahhāb. Bab 4 membedah hubungan kompleks antara Salafi dan Islamisme melalui studi kasus Ikhwanul Muslimin. Bab 5 mendokumentasikan evolusi Salafi-Jihadi sebagai sub-varian radikal. Bab 6 mengamati penyebaran global Salafi dan munculnya fenomena Post-Salafisme. Epilognya, sangat personal, mencerminkan transisi intelektual dan spiritual Qadhi.

Qadhi menggunakan pendekatan multidisipliner: filologi klasik, historiografi, tipologi sosiologis, dan refleksi pribadi. Ia menggabungkan kutipan primer dari ulama klasik seperti Ibn Taimiyyah, Ibn ‘Abd al-Wahhāb, dan al-Albānī, dengan analisis kontemporer dari Quintan Wiktorowicz, Thomas Hegghammer, hingga Madawi Al-Rasheed. Pendekatannya tidak netral mutlak, namun secara sadar “berposisi” sebagai insider-outsider yang bersikap kritis dan tetap menghargai tradisi yang pernah ia anut.

Konseptualisasi Salafi: Definisi, Kompleksitas, dan Fragmentasi

Salah satu kontribusi penting Qadhi adalah pembongkaran terhadap mitos kesatuan Salafi. Ia menegaskan bahwa Salafi bukanlah gerakan tunggal, melainkan “spektrum” kecenderungan yang berakar pada prinsip keagamaan yang sama: kembali kepada al-Qur’ān dan Sunnah menurut pemahaman al-salaf al-ṣāli (tiga generasi pertama Islam). Namun, prinsip ini ditafsirkan dalam berbagai konteks sosial-politik yang melahirkan beragam bentuk Salafi: quietist, reformist, jihadi, loyalist (Madkhalī), dan post-Salafi.(Adraoui, 2022; Bishara, 2022; Evstatiev, 2021; Islam, 2024; Meijer, 2013; Wagemakers, 2020)

Qadhi menyusun tipologi baru yang lebih terbuka dan dinamis dibandingkan tipologi klasik Wiktorowicz(Wiktorowicz, 2005) atau Stéphane Lacroix(Lacroix, 2024). Ia menekankan variabel-variabel teologis, metodologis, dan politik secara simultan. Misalnya, seorang Salafi bisa memiliki teologi yang sama (misalnya tentang tauḥīd dan bid‘ah), tetapi sikap terhadap kekuasaan politik atau bentuk dakwah bisa sangat berbeda. Dalam hal ini, tipologi Qadhi sangat membantu menjelaskan mengapa Salafi bisa tampil “apolitik” di satu konteks, tetapi menjadi sangat revolusioner di konteks lain.

Genealogi Intelektual Salafi: Dari Ahl al-adīṡ hingga al-Albānī

Bab kedua merupakan salah satu bagian terkuat buku ini. Qadhi menelusuri akar Salafi dari kelompok ahl al-ḥadīṡ pada abad ke-8 M, termasuk peran Aḥmad ibn Ḥanbal dan para Ḥanbalī awal. Ia menjelaskan bagaimana pemikiran Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah memberikan fondasi metodologis dan teologis bagi “proyek Salafi”, meskipun istilah Salafi sendiri belum digunakan.

Penting dicatat bahwa Qadhi dengan kritis menolak klaim anachronistic bahwa tokoh-tokoh klasik seperti Aḥmad ibn Ḥanbal atau bahkan Imām al-Syāfi‘ī adalah “Salafi” dalam arti modern. Ia justru menunjukkan bahwa Salafi modern adalah konstruksi sosial-keagamaan abad ke-20, meskipun menggunakan legitimasi sejarah dari masa awal Islam.

Qadhi menunjukkan pula bagaimana tokoh-tokoh seperti al-Albānī memainkan peran penting dalam kodifikasi dan globalisasi Salafi. Ia menyebut al-Albānī sebagai “bapak ortodoksi Salafi abad ke-20”, yang membangun otoritas melalui kritik hadis dan redefinisi Sunnah dalam kerangka anti-mazhab (al-lā mażhabī).

Wahhabisme dan Salafisme: Sinkronisasi dan Divergensi

Dalam bab ketiga, Qadhi memberikan evaluasi tajam terhadap relasi antara Salafisme dan Wahhabisme. Ia menguraikan bagaimana pemikiran Muḥammad ibn ‘Abd al-Wahhāb berakar pada teologi Ḥanbalī dan semangat purifikasi terhadap tauḥīd. Namun, Qadhi juga menyoroti dimensi politik dan kekerasan yang mengiringi dakwah Wahhābī, termasuk praktik takfīr dan penggunaan jihād terhadap Muslim lain yang dianggap menyimpang.

Qadhi membedakan antara “Wahhabisme klasik” dan “Salafi-Wahhābī kontemporer” yang telah disebarkan melalui jaringan lembaga Saudi seperti Universitas Islam Madinah. Ia secara terbuka menyatakan bahwa pemikiran Wahhābī mengalami simplifikasi dan instrumentalisasi oleh negara Saudi demi kepentingan stabilitas politik dan ekspor ideologi.

Menariknya, Qadhi tidak serta-merta mengecam Ibn ‘Abd al-Wahhāb, tetapi mengajak pembaca melihatnya sebagai produk zamannya -seorang reformis yang menjawab realitas keagamaan lokal Najd, tetapi tidak dapat dijadikan otoritas absolut bagi semua umat Islam sepanjang masa.

Salafisme dan Islamisme: Antara Simbiosis dan Konflik

Qadhi mengupas relasi antara Salafisme dan gerakan Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dengan sangat kritis. Ia menggambarkan sejarah kompleks dari “flirtasi ideologis” antara Salafi dan Ikhwan sejak tahun 1930-an, yang kemudian berkembang menjadi pertikaian tajam pasca Arab Spring. Ia menyebut fenomena ini sebagai “pernikahan ideologis yang berujung perceraian pahit.”

Qadhi menunjukkan bahwa meskipun Salafisme dan Islamisme sama-sama berbicara atas nama Islam, keduanya berbeda dalam strategi dakwah, epistemologi politik, dan relasi terhadap kekuasaan. Salafisme cenderung bersikap loyalistik terhadap otoritas (tażīr min al-khurūj), sedangkan Islamisme bersifat revolusioner. Namun, munculnya Salafi-politik (izbiyyūn) menunjukkan bahwa batas antara keduanya bisa menjadi cair.

Studi kasus tentang Salafisme Mesir pasca-2011 sangat kuat dalam bab ini. Qadhi menunjukkan bagaimana partai Salafi al-Nūr mampu memenangkan suara besar dalam pemilu, tetapi kemudian kehilangan basis dukungan karena kontradiksi internal antara doktrin puritan dan pragmatisme politik.

Jihādi-Salafism: Ekstremisme atas Nama Tauḥīd

Bab kelima mendedah secara sistematis arsitektur ideologis Jihadi-Salafism. Qadhi memetakan hubungan antara paham tauḥīd versi Wahhābī, prinsip al-walā wa al-barā, doktrin ḥākimiyyah, dan praktik takfīr muayyan terhadap negara-negara Muslim. Ia menelusuri kontribusi Sayyid Qutb, ‘Abdullāh ‘Azzām, Osama bin Laden, al-Zarqāwī, dan ideolog kontemporer seperti al-Maqdisī dan al-Aulākī.

Qadhi menekankan bahwa Jihadi-Salafism bukan sekadar produk teks, melainkan juga konteks. Afghanistan, Aljazair, Irak, dan Suriah menjadi laboratorium sejarah di mana doktrin menjadi senjata. Ia juga menyampaikan bahwa meskipun memiliki akar Salafi, para jihadis sering kali menyimpang secara metodologis, terutama dalam pengambilan hukum, ijtihād takfīr, dan pelanggaran prinsip maṣlaḥah.

Bab ini sangat penting karena memisahkan Salafisme dari stigma terorisme, sambil tetap menunjukkan bagaimana celah-celah dalam doktrin Salafi dapat dimanfaatkan untuk agenda kekerasan.

Salafisme Global dan Post-Salafisme: Masa Depan yang Terpecah

Dalam bab terakhir, Qadhi menyoroti dinamika global Salafism di berbagai negara, dari Nigeria hingga Inggris, dari Indonesia hingga Amerika Serikat. Ia memperlihatkan bahwa Salafisme tampil berbeda-beda tergantung konteks lokal. Di Inggris, misalnya, Salafi berkembang di antara kelas pekerja urban; di Indonesia, sebagian terkooptasi dalam institusi resmi; di AS, Salafi menghadapi tekanan dari keamanan nasional.

Qadhi juga memperkenalkan fenomena post-Salafism sebagai bentuk refleksi dan transisi dari ‘mantan’ Salafi yang kecewa terhadap eksklusivisme, sektarianisme, dan otoritarianisme internal. Tokoh seperti Salmān al-‘Audah dan Hatim al-ʿAunī menjadi contoh transisi menuju pendekatan maqāṣidī dan inklusif. Qadhi sendiri menyatakan bahwa ia telah “move on” dan bergerak “beyond Salafism”, meskipun tetap menghormati nilai-nilainya.

Kekuatan dan Keterbatasan

Buku ini memiliki banyak keunggulan. Pertama, keunikan perspektif Qadhi sebagai insider-outsider menghadirkan kedalaman analisis dan empati yang seimbang. Kedua, struktur naratifnya memudahkan pembaca memahami topik yang rumit secara bertahap. Ketiga, penggunaan sumber primer dan literatur akademik mutakhir menunjukkan integritas akademik yang tinggi.

Namun, ada juga keterbatasan. Beberapa bagian cenderung panjang dan teknis (misalnya pembahasan teologi asmā wa ṣifāt) sehingga menuntut latar belakang pembaca. Selain itu, Qadhi masih menyisakan bias apologetik dalam menilai guru-gurunya terdahulu, seperti Ibn Bāz dan al-‘Uṡaimīn, yang sebenarnya memegang posisi problematis dalam wacana eksklusivisme.

Selain itu, meskipun banyak negara dibahas, pembahasan Indonesia sangat minim, padahal negara ini merupakan arena penting pertarungan diskursif Salafisme, terutama dalam hubungan dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia.

Understanding Salafism adalah kontribusi monumental dalam studi Islam kontemporer. Buku ini tidak hanya menjelaskan doktrin dan sejarah Salafisme, tetapi juga memperlihatkan bagaimana gerakan ini hidup, berubah, dan bertarung dalam ruang publik Muslim global.

Bagi dunia akademik, buku ini menawarkan kerangka tipologi dan historiografi baru yang dapat memperbarui pendekatan studi gerakan Islam. Bagi pembuat kebijakan, buku ini bisa menjadi rujukan penting dalam memahami diferensiasi internal Salafisme dan menghindari kebijakan deradikalisasi yang cenderung pada ‘generalisasi’. Bagi masyarakat Muslim sendiri, buku ini bisa menjadi cermin reflektif tentang bahaya puritanisme tanpa empati, serta pentingnya menghidupkan tradisi Islam dengan semangat ilmu, adab, dan ijtihād.

Dengan gaya yang tajam namun berimbang, Qadhi mengajak kita untuk tidak hanya “memahami Salafisme,” tetapi juga memahami kompleksitas menjadi Muslim di zaman yang plural, modern, dan penuh tantangan.

 

Bahan Bacaan

Adraoui, M.-A. (2022). Understanding Salafism. Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-031-18089-7

Bishara, A. (2022). On Salafism: Concepts and Contexts. Stanford University Press.

Evstatiev, S. (2021). Salafism as a Contested Concept. In Knowledge, Authority and Change in Islamic Societies (pp. 172–201). Brill.

Islam, J. (2024). What is Salafism? An Intellectual History of Salafī Hermeneutics. Journal of Religion.

Lacroix, S. (2024). Le crépuscule des Saints. Histoire et politique du salafisme en Égypte. CNRS Éditions.

Meijer, R. (2013). Global Salafism: Islam’s new religious movement. Oxford University Press, USA.

Qadhi, Y. (2025). Understanding Salafism: Seeking the Path of the Pious Predecessors. Oneworld Publications.

Wagemakers, J. (2020). Salafism: Generalisation, Conceptualisation and Categorisation. In M. Ranstorp (Ed.), Contextualising Salafism and Salafi Jihadism (pp. 21–54). Nationalt Center for Forebyggelse af Ekstremisme.

Wiktorowicz, Q. (2005). A Genealogy of Radical Islam. Studies in Conflict & Terrorism, 28(2), 75–97.

Komentar