Pada suatu kopi kududuk di serambi mimpi

mengenang kenangan yang perlahan menepi ke pagi

ada harapan yang bukan janji namun meski ditepati

rahmat ilahi punya tali yang menjulur dari langit hingga ke bumi

kudaki tali dengan daulat, doa, dan syair cinta.

 

oh Sang Maha Pemilik cinta

Engkau ciptakan kopi sebagai cinta

wahai Sang Maha Cahaya

yang mengajari Nabi Yunus

dengan gelap dalam gelap dan sangat gelap

berilah jalan terang melewati kopi

agar suatu kopi, kupecah segala urusan

yang kau beri untuk kebaikan kami.

 

Yogyakarta, 14 April 2017

 

 

Negeri Kopi

 

Konon dalam kisah negeri kopi,

pahit kopi berasal dari pahit hati

yang gugur terkoyak percintaan

kemudian sisa cinta ikut jatuh

di sisa relung kopi

 

terjadilah peleburan antara pahit dan cinta

menghasilkan aroma kopi

semua patuh pada proses,

termasuk sampai pada proses seduh kopi

dan menikmati bersama kekasih hati.

 

Jika kekasih bertanya, ”Kopi apa yang paling utama?”.

Aku akan menjawab, ”Kopi yang diseduh bersamamu”.

Jika kekasih bertanya lagi, ” kopi apa yang paling enak dan nikmat”.

Aku akan menjawab, ”Kopi yang secangkir bersamamu”,

dan aku tahu jawaban itu yang kau harapkan dariku wahai kekasihku

 

Purwokerto, 13 oktober 2018

 

Ning

 

Lantunan ayat itu menuntun

telinga untuk membuka mata

bahwa dirinya salehah

 

ia mengajak jemari

menyusun kata perkata

dengan tinta suara

 

aku berhasil melakukannya

silahkan baca bait-baitnya

dalam dadaku

 

untuk beberapa masa

kujaga naskahnya

sampai Ning jadi milik siapa.

 

Yogyakarta, 29 April 2017

 

 

Kumbang I

 

Desir kumbang membelai kulit

hawa dingin melilit ke pori sempit

sepotong bulan mengintip di balik awan

kawanan bintang berjejer terang-terangan

 

membentuk rasi; mengawasi

seorang pencari duduk termenung

di pematang kerumunan padi yang haus

menunggu janji

 

di tanah garing

di jemari kering

ia bergeleng ke kiri ke kanan

terus mengayun dari depan ke belakang

 

gembira mendengar nyanyian pompa

mengaliri rekahan bumi

hingga fajar berseri kembali

 

Brebes, 15 Juni 2019

 

 

Kumbang II

 

Tiap saat kumbang berlarian

ke sana kemari di perkampungan

ia bergemuruh luruh

bagai suara debur ombak Randu Sanga

 

di malam sepi mimpi

tiupannya terdengar nyaring

mengenai bibir bambu antena yang kokoh

berdiri meski pecah digigit oleh terik mentari

 

ia bersiul merdu bak nyanyian

seruling Nabi Dawud memecah rindu

sampai pesawahan sepoinya mengipasi sawah

petani bungah bawang merah merekah

 

tanamannya gumregah meriah

segar bugar

hasil melimpah.

 

Brebes, 25 Juni 2019

 

 

Kumbang III

 

Belum hendak ingin segera pergi angin

menghempas dari musim kemarau sampai

musim politik usai di persidangan eMKa

petani mengeluh pada alam

 

tanah sawah mendebu

sumur pompa hanya keluar angin

sungai tak menggenang air

tanaman layu; kena panas dingin

 

belum hendak ingin segera pergi angin

membawa warta banjir melengkapi warna

warni gejala derita kekeringan harta benda

kesejahteraan lingkungan belum merata

 

belum hendak ingin segera pergi angin

mengusir awan mendung dari musim tanam

kampanye caleg sampai musim panen politik

pilpres, petani susah panen sawahnya murah

 

belum hendak ingin segera pergi angin

mengusir pengangguran mencari kerja sulit

dari musim pendaftaran sekolah

sampai musim wisuda kuliah

 

angin sampaikan salam pada ahli syafaat

yang mampu memintakan hujan

 

angin sampaikan salam untuk laut yang

mampu mengirim rintik hujan pada awan

 

angin bawalah awan hujan saat kau datang kemari

dari gunung kumbang ke tanah hati

 

angin bawalah keberkahan pada hati yang sabar

dan syukur pada sang pemilik tanah surga

 

angin bawalah kabar gembira pada jiwa yang

tak putus asa, berusaha dan berdoa.

 

Brebes, Juni 2019.

Komentar