“Anu, Pak RT. Yang namanya fasum (baca: fasilitas umum) perumahan itu kan untuk kebutuhan sesama warga, difungsikan untuk kemaslahatan bersama ya kan? Tapi Pak ‘B’ ini seolah-olah memonopoli fasum yang di pojokan itu untuk kepentingan pribadi. Gimana ini Pak RT?”
Pak Badri, sebut saja begitu, tiba-tiba menghangatkan lagi rapat RT yang lamat-lamat sudah mulai membosankan.
Keadaan belum terlalu malam sebenarnya saat itu. Hanya saja, hujan deras pada sore sebelum rapat RT, membuat suasana rapat jadi cukup mudah menghantarkan domino menguap dari satu bapak-bapak ke bapak-bapak lain.
Percikan permasalahan ini, mendadak membangkitkan gairah bapak-bapak yang sebelumnya sudah mulai terkantuk-kantuk. Saya sendiri, yang sebelumnya hanya bolak-balik buka layar kunci hape lalu mematikannya, atau sesekali scroll layar touchscreen tanpa tujuan, jadi antusias.
“Wah, ontran-ontran apalagi ini?” batin saya.
Keluhan Pak Badri saat itu, mendadak jadi kafein baru untuk bapak-bapak di rapat RT.
Pak Abi, Pak Ipul, Pak Bambang, atau siapapun bapak-bapak di rapat tersebut, saya lihat tersenyum mendengar keluhan Pak Badri. Senyum yang mudah ditafsirkan. Mereka semua seolah sepakat bahwa itu memang permasalahan lama yang tak kunjung rampung di perumahan kami ini.
Pak RT lantas bertanya balik ke Pak Badri.
“Pak ‘B’ itu memang jarang ikut rapat RT ya belakangan ini?” tanya Pak RT. Pertanyaan retoris saja sebenarnya.
“Lah, itu masalahnya.” Bapak-bapak yang lain ikut menimpali. Sembari diiringi tawa yang gurih.
Saya ingat-ingat lagi apa masalah yang disampaikan Pak Badri ini. Beberapa pekan sebelumnya, kami warga perumahan sempat melaksanakan kerja bakti menyambut bulan Ramadan. Tentu saja semua ruang di perumahan kami dibersihkan. Salah satunya fasum di pojokan yang jadi sumber masalah pada rapat RT malam itu.
Pada mulanya—saya kira—fasum di pojokan perumahan itu memang halaman milik Pak ‘B’. Mudah saja berkesimpulan seperti itu. Ada barang-barang bekas, ada motor parkir, lalu yang paling ketara: ada jemuran baju portable yang melintang menghalangi area masuk fasum.
Ketika kerja bakti kala itu dilakukan, beberapa bapak-bapak memang sempat ngedumel, mengeluhkan kelakuan Pak ‘B’ ini. Fasum yang sebenarnya difungsikan untuk lahan bermain anak-anak perumahan, pada praktiknya tidak bisa dipakai karena kondisinya jadi seolah milik pribadi Pak ‘B’.
Oke, saya paham. Paham masalahnya.
Lantas, pertanyaan saya kemudian: Bagaimana solusinya? Setelah diskusi pendek, ada tiga tawaran solusi pada malam itu, dan semuanya cukup menarik.
Pertama. Seorang bapak-bapak mengusulkan. Ya sudah, labrak saja Pak ‘B’. Katakan bahwa Pak ‘B’ salah. Titik.
Baiklah. Saya tahu, solusi pertama ini memang terkesan menjadi solusi tercepat. Masalah bisa segera dibongkar untuk kemudian dirajut kembali. Permasalahannya, apakah benar itu solusi paling baik? Paling cepat, iya betul—tapi apakah paling pas?
Tiba-tiba masing-masing dari kami terdiam mendengar solusi yang agak esktrem itu. Kesannya radikal sekali. Hanya mentang-mentang kami benar dan mayoritas, rasanya hal itu tidak membuat kami jadi lebih berhak melakukan segala macam cara tanpa memikirkan reaksi pihak yang bersalah.
Bagaimana kalau efek berikutnya kami belum siap? Bagaimana kalau Pak ‘B’ sakit hati, lantas melakukan tindakan yang kami tidak bisa tebak itu apa? Bukannya permasalahan selesai, yang ada masalah bertambah.
Setarikan nafas, saya jadi ingat akan bahayanya perbuatan seperti itu di lanskap kehidupan-kehidupan lain yang lebih luas. Menjadi mayoritas seperti kami ternyata tidak membuat kami bisa bebas begitu saja. Padahal segala atribut di kami malam itu komplit sudah. Benar iya, mayoritas sudah pasti.
Diskusi di rapat RT itu lantas jadi terasa renyah sekali, meskipun jajanan sudah tersisa satu biji di tiap piring sajian. Kami mendadak menuju pada satu kesimpulan mengasyikkan. Ternyata menyelesaikan masalah tidak bisa hanya dengan mengandalkan kebenaran saja. Harus ada cara-cara yang baik juga. Cara yang lebih berimbang. Cara yang lebih moderat.
Atau, kalau dalam bahasa yang lebih keren: berusaha memanusiakan juga pihak yang bersalah.
Bukan semata-mata untuk menunjukkan bahwa ia salah, tapi juga berupaya agar pihak yang keliru mau memahami pihak yang benar. Tak perlu setuju kok, minimal ia paham saja dulu kalau pihak yang benar juga punya hak lebih besar. Sudah.
Dari kesimpulan itu, lantas kami sepakat menyingkirkan sejenak usulan pertama yang agak represif itu.
Kedua. Ini usulan saya sebenarnya. Hehe.
Saya mengusulkan agar kegiatan RT, seperti arisan ibu-ibu atau rapat RT pada bulan selanjutnya, menggunakan lokasi fasum di pojokan itu. Tidak secara langsung menegur Pak ‘B’, tapi setidaknya menyindir Pak ‘B’ bahwa halaman di samping rumahnya itu bukan miliknya, itu milik warga.
Pada mulanya, usul saya diterima. Sampai kemudian Pak Badri menimpali.
“Tapi di sana itu, bau itu, Mas. Harus dibersihkan dulu kalau mau dipakai rapat-rapat,” katanya.
Bapak-bapak tertawa geli. Pun dengan saya.
“Kalau harus dibersihkan dulu, ya sama saja kayak usul yang pertama. Kan tetep nyingkirin barang-barangnya Pak ‘B’ dari sana. Artinya, saya tetap melabrak Pak ‘B’ juga pada akhirnya untuk memulai bersih-bersih,” kata Pak RT kemudian.
Duh, ide yang saya pikir brilian itu ternyata tak berhasil juga.
Kami berpikir lama menunggu usul ketiga.
Dan usul itu datang juga akhirnya, dari Pak Ipul. Bukan usul, tapi lebih ke instropeksi diri.
“Apa kita yang di sini pernah bikin sakit hati Pak ‘B’?” tanya Pak Ipul baik-baik.
Setiap bapak-bapak jadi saling melihat satu sama lain. Saya sendiri mengaku tidak pernah merasa membuat Pak ‘B’ sakit hati. Pun yang lain.
Oke, tapi pertanyaannya kemudian; bagaimana dengan anak-anak di perumahan? Apakah ada di antara kami yang bisa memastikan kalau anak-anak tidak mengganggu Pak ‘B’ ketika bermain di sana?
Mengingat lokasi fasum di samping rumah Pak ‘B’ itu memang lahan bermain. Ada jungkat-jungkit, ada ayunan, dan ada tangga mainan anak-anak. Dan sangat wajar kalau misalnya, ini masih misalnya, Pak ‘B’ merasa terganggu dengan suara berisik dari anak-anak di samping rumahnya. Bisa jadi apa yang dilakukan Pak ‘B’ adalah bentuk protes.
Dari instropeksi ini, kami lantas terdiam lama. Memikirkan sejenak beberapa menit yang lalu. Apakah benar kami ini adalah satu-satunya pihak yang paling benar di perumahan ini? Bagaimana kalau ternyata kami malah yang jadi sumber masalahnya, tapi karena merasa itu bukan masalah, kami mendadak ingin menyelesaikan masalah yang kami buat sendiri, dengan merasa menjadi benar sendiri?
Di tengah-tengah kebuntuan itu tiba-tiba Pak RT memotong lamunan kami.
“Ya sudah, Bapak-bapak. Begini saja. Biar saya yang besok sowan ke Pak ‘B’. Pertama, menanyakan dulu, apakah Pak ‘B’ merasa keberatan dengan suara anak-anak yang suka main di fasum dekat rumahnya. Kalau iya, mungkin kita baru bisa memikirkan solusi yang lebih nyaman untuk semua.”
Akhir rapat, kami semua tersenyum. Puas sekali rasanya. Melihat bagaimana pihak yang merasa benar mau mendengar pihak yang dianggap salah terlebih dahulu. Atau mungkin yang lebih pas sebagai percontohan jadi begini: Bagaimana pihak yang mayoritas, mau mendengar pihak yang minoritas.
Benar-benar melegakan. Pada akhirnya rapat selesai. Kami pulang. Di perjalanan menuju kesunyian masing-masing, rasa kantuk tadi mendadak hilang.
Semua senang, rasanya semua menang.