Islamsantun.org – Membicarakan kedatangan Islam di Jepang, tidak banyak rekaman sejarah atau riwayat yang mencatat kapan pastinya agama Nabi Muhammad ini datang ke negeri sakura. Beberapa asumsi menyatakan Islam datang ke Jepang sejak abad ke-11, dari Muslim Cina yang menginjakkan kaki di Jepang. Akan tetapi, sumber-sumber catatan ini terbilang minim dan berada di luar jangkauan penulis.
Meski demikian, terdapat sebuah episode sejarah yang memperkuat riwayat rintisan hubungan Jepang dan Islam, yakni hubungan Kekhalifahan Turki Utsmani dan Kekaisaran Jepang era Meiji. Sejarah ini tercatat apik bukan hanya sebagai simbol rekatnya hubungan negara Jepang dengan Turki, tapi juga dengan umat Islam secara umum.
Tulisan ini sebagian penulis sadur dari buku ‘History of Turkish-Japanese Relations and The Ertugrul Frigate’ karya Ahmet Uzunoglu dengan tambahan dari literatur lainnya. Penulis berterimakasih kepada program Jenesys 2022, sebab buku ini penulis dapat dari pemberian pengurus Masjid Tokyo Camii selama program tersebut. Masjid Tokyo Camii merupakan masjid terbesar di Jepang yang sampai saat ini juga berfungsi menjadi lembaga pusat kebudayaan Turki di Jepang.
Awal Hubungan Jepang Era Meiji dan Turki Utsmani
Berlatar belakang pada kekaisaran Jepang era Meiji pada rentang 1868 – 1912, Jepang di era ini sedang menumbuhkan semangat nasionalisme dan pembaharuan modernisasi. Sebagai salah satu upayanya, Kaisar Mutsuhito sebagai kaisar Jepang era Meiji saat itu, tertarik untuk menjalin hubungan dengan kerajaan atau negara yang sudah maju di wilayah Eropa, khususnya di bidang ekonomi dan industri.
Kekhalifahan Turki Utsmani, sebagai gerbang menuju Eropa tidak ketinggalan menjadi tujuan korespondensi kaisar Jepang. Kunjungan tidak resmi pertama kekaisaran Jepang terjadi pada tahun 1873, ketika Jepang mengirim delegasi untuk menjalin hubungan dengan Khalifah Utsmani. Dalam kunjungan tersebut, Kaisar Meiji menitipkan surat berisi pesan persahabatan melalui Pangeran Akihito Komatsu. Sultan Abdulhamid II, khalifah Turki Utsmani saat itu menerima kunjungan pangeran dengan hangat dan menyambut pesan tersebut.
Ada sebuah catatan unik, bahwa Sultan Abdulhamid II saat itu teryakinkan bahwa Jepang akan menjadi negara superpower di masa depan, sehingga berkomitmen untuk segera menjalin hubungan dengan negeri sakura itu. Melihat majunya Jepang di masa kini, penerawangan Sultan Abdulhamid II tampaknya tidak meleset.
Dua aktor penting tercatat namanya dalam sejarah rintisan hubungan Utsmani dan Jepang era Meiji. Dari pihak Turki mencatatkan nama Abdurresid Ibrahim Effendi. Abdurrasid Effendi merupakan qadi Turki Usmani yang menuntaskan pendidikannya di Madinah. Selain sebagai qadi, dia juga dikenal sebagai seorang traveler, dan rajin mencatatkan perjalanannya di majalah dan publikasi lainnya. Abdurresid juga tercatat menjadi tokoh penting dari Turki Usmani yang mengenalkan agama Islam di Jepang.
Sementara Torajiro Yamada menjadi aktor diplomatik dari pihak Jepang. Dia pernah mempersembahkan hadiah samurai Jepang warisan keluarganya kepada Sultan Abdulhamid II. Adapun perannya lebih lanjut dalam hubungan Turki Utsmani dan Jepang akan dibahas belakangan dalam tulisan ini.
Pelayaran Muhibah Kapal Ertugrul ke Jepang
Sebagai kunjungan balasan kepada kekaisaran Jepang, Turki Utsmani mengirim pelayaran kapal fregat sebagai pelayaran muhibah ke Jepang. Kapal fregat (frigate) merupakan kapal perang berukuran sedang berbobot antara 1.100 – 2.800 ton, dengan tiga tiang di atas kapal. Nama kapal fregat ini bernama Ertugrul, yang dikenal sebagai nama ekspedisi muhibah ini.
Kapal Ertugrul berangkat dari Istanbul pada tanggal 14 Juli 1889. Karena ini perjalanan resmi, keberangkatannya dilepas dengan upacara kenegaraan. Laksamana Osman Pasha, salah satu orang terbaik Angkatan Laut Turki Utsmani bertindak sebagai komandan ekspedisi ini.
Perjalanan ekspedisi kapal ini membutuhkan waktu hampir satu tahun untuk sampai ke Jepang. Tercatat, kapal Ertugrul sampai di Pelabuhan Yokohama pada tanggal 8 Juni 1890.
Dalam perjalanan menuju Jepang, ekspedisi ini singgah di beberapa negara. Tercatat ekspedisi ini singgah ke India, Ceylon (Srilanka), Singapura, dan Hong Kong sebelum lanjut berlayar menuju Jepang. Pemberhentian di beberapa negara tersebut utamanya bertujuan menjalin kontak dengan komunitas Muslim di negara-negara sepanjang rute pelayaran, yang merupakan mandat Sultan Abdulhamid II sebagai khalifah. Sejauh pengamatan penulis, tidak ada informasi kapal ini berlabuh di wilayah kepulauan Nusantara, atau Indonesia sekarang.
Di India, kapal Ertugrul berhenti selama sepuluh hari di Pelabuhan Mumbai dan diterima oleh Muslim India dengan suka cita. Bahkan, kapal ini menampilkan pertunjukan para pemusik istana dan ramai ditonton oleh penduduk.
Enam hari setelah bertolak dari Mumbai, awak kapal menemukan kebocoran di lambung kapal, dan memutuskan berhenti di Colombo, Ceylon. Tidak disebutkan berapa lama mereka berhenti, namun kapal ini dibuka untuk umum dan dikunjungi tidak kurang dari 200.000 orang Srilanka.
Selepas dari Colombo, Ertugrul menyusuri selat Malaka menuju pemberhentian selanjutnya, Singapura. Kapal ini berlabuh di Singapura pada tanggal 15 November 1889. Kapal ini memutuskan bersandar selama lima bulan di Singapura yang hangat, demi menghindari cuaca musim dingin. Selama lima bulan itu kapal Ertugrul diperbaiki secara besar-besaran. Musim dingin usai, dan kapal Ertugrul siap menuju Jepang. Akan tetapi, rombongan ini mendapati cuaca buruk di perairan Laut Cina Selatan yang memaksanya berlabuh selama empat hari di Saigon. Baru setelah itu kapal bergerak menuju Utara, untuk berhenti sejenak di Hong Kong sebelum menuju ke Jepang.
Titian Muhibah Utsmani – Meiji
Pelabuhan Yokohama menjadi saksi sejarah hubungan resmi dunia Islam dan kekaisaran Jepang. Ekspedisi muhibah kapal Ertugrul akhirnya berhasil mendarat pada tanggal 8 Juni 1890 dan diberitakan secara luas via telegram dan radio ke seluruh dunia. Saat itu pelabuhan Tokyo hanya boleh disinggahi kapal lokal, dan Yokohama menjadi pelabuhan internasional.
Ekspedisi Ertugrul diterima dengan sangat baik oleh kekaisaran Jepang. Pada tanggal 13 Juni 1899 mereka dijamu secara langsung oleh Kaisar Jepang di istana, dan Osman Pasha sebagai pemimpin pasukan menyerahkan surat resmi kenegaraan dari Sultan Abdulhamid II kepada Kaisar, serta bermacam hadiah berharga dari kesultanan Utsmani.
Rombongan ekspedisi Ertugrul tinggal di Jepang hanya selama tiga bulan. Lebih singkat dari transit mereka di Singapura selama musim dingin. Meski demikian, dicatat bahwa jadwal rombongan ini “sangat sibuk” dengan misi diplomatiknya. Agenda utama rombongan Ertugrul adalah mengunjungi fasilitas militer dan industri yang dipunyai Jepang. Selain itu, mereka mengadakan pertemuan dengan para duta besar dari berbagai negara dan kerajaan yang menjalin kerjasama dengan Jepang.
Sebagai representasi kekhalifahan Muslim sedunia saat itu, rombongan ekspedisi Ertugrul juga menemui kelompok-kelompok Muslim dari berbagai negara dan etnis yang sudah menetap di Jepang. Dari pihak kesultanan Utsmani membagikan mushaf Quran Utsmani sebagai kenang-kenangan bagi penduduk Muslim di Jepang.
Tenggelamnya Ertugrul, Timbulnya Persahabatan Jepang – Turki
Merebaknya wabah Kolera di Jepang ditengarai menjadi penyebab cepatnya kunjungan ekspedisi Ertugrul. Kapal ini segera dipanggil pulang ke Istanbul pada pertengahan September. Ertugrul baru berhasil bertolak pulang dari pelabuhan Yokohama pada tanggal 15 September. Bulan pancaroba yang penuh dengan badai taifun dan gelombang tinggi di samudera.
Osman Pasha, sebagai jenderal kapal yang taat perintah, bersikeras untuk tetap berlayar pulang menembus kondisi cuaca yang tak menentu di pergantian musim. Naas, badai besar dan gelombang menyapu Kapal Ertugrul sampai lepas kendali, yang menyebabkannya menabrak karang di kepulauan Aoshima di ujung selatan gugus kepulauan Jepang. Misi ekspedisi persahabatan yang hangat karam di tengah badai lautan Jepang yang dingin.
Sebanyak 540 korban, termasuk Laksamana Osman Pasha, dinyatakan tewas tenggelam dalam kecelakaan naas tersebut. Hanya 69 awak kapal yang berhasil selamat dengan berenang ke tepian. Sejumlah 260 korban yang berhasil ditemukan dikuburkan secara militer di tanjung Kashinozaki, pantai terdekat dari kejadian.
Meskipun berakhir naas, justru ekspedisi Ertugrul ini menjadi awal mula lekatnya persahabatan antar kedua negara. Koran Jepang, Jiji Shimpo, mengajak warga Jepang untuk sukarela mengumpulkan donasi bagi keluarga korban di Turki. Hasil dari donasi warga Jepang diserahkan langsung ke Turki oleh Torajiro Yamada yang namanya tersebut di awal tulisan ini, sebagai perwakilan dari Komite Peduli Keluarga Korban Kapal Ertugrul. Penduduk pulau Aoshima juga tidak melaut selama tiga tahun demi penghormatan kepada korban tenggelam.
Monumen penghormatan kepada para korban ekspedisi Ertugrul dibangun di Aoshima tidak lama setelah hubungan diplomasi kedua negara diresmikan. Upacara penghormatan kepada para korban dilaksanakan secara kenegaraan oleh kedua negara secara rutin tiap sepuluh tahun.
Meskipun berakhir naas, tapi ekspedisi ini amat berjasa dalam meletakkan pondasi hubungan Jepang dan umat Islam secara umum. Sebab tidak dapat dipungkiri, ekspedisi Ertugrul ini pula yang memuluskan langkah Muslim di Jepang dalam membangun masjid Tokyo Camii pada tahun 1928. Masjid yang masih menyandang status sebagai masjid terbesar di Jepang sampai hari ini.