Nama saya Kurdi, salah satu abdi dalem di sebuah pesantren besar, di wilayah Jawa Timur. Pesantren ini dipimpin oleh sosok Kyai sederhana bernama Kyai Mustain. Masyarakat dan para tamu biasa mengenalnya Mbah Tain. Saya merasa sangat beruntung menjadi santri abdi dalem. Meskipun jarang ngaji secara formal di pesantren, saya banyak belajar saat nyupiri Kyai di perjalanan, baik dalam rangka silaturahim maupun saat beliau ngisi pengajian.
Di perjalanan, beliau seringkali bercerita tentang hikmah kehidupan dan banyak pelajaran mulai dari keluarga, masyarakat dan seringkali beliau menceritakan para tamu yang mengunjunginya dengan permintaan doa yang unik-unik. Pernah beliau menyampaikan bahwa suatu ketika ada tamu yang meminta agar didoakan supaya mendapatkan ijin poligami dari istri pertamanya. Ada juga yang datang untuk dicarikan jodoh. Bahkan pernah beliau menawarkan saya seorang janda muda dan kaya untuk dijadikan sebagai suami. Namun, hal ini tidak jadi karena sudah keduluan orang, katanya.
Soal menyampaikan ceramah, beliaulah jagonya. Saat beliau menyampaikan salam pembuka, suaranya menggelegar memiliki kharisma yang khas dan tidak dimiliki para da’i lainnya. Banyak orang-orang yang mengakui kealiman dan ketawadhuaannya. Tidak hanya dari kalangan awam, para ulama lainnya pun mengakui tentang kedalaman ilmu dan wawasannya. Saat ditanya soal hukum, beliau selalu menjawab disertai dengan ta’bir-nya yang tertera dalam kitab-kitab baik yang ulama’ salaf maupun khalaf. Persoalan yang rumit dan pelik menjadi sangat sederhana dan mudah dipahami jika beliau yang menjelaskan.
Pernah suatu ketika saat ada masalah khilafiyah yang terjadi di masyarakat dan tidak selesai di tangan para da’i yang lain menjadi selesai di tangannya. Beliau sangat mencintai para santri dan sebaliknya santri sangat mencintai dan ta’dzim kepadanya.
Namun, kondisi yang cukup membuat tercengang semua santri termasuk saya adalah saat beliau mengumumkan sesuatu setelah shalat berjemaah maghrib di mushalla pondok.
“Santriku, saya ingin menyampaikan hal penting kepada kalian malam ini!”
Sontak semua santri menjadi sunyi tak bersuara sepatah katapun. Pikiran dan perhatian mereka tertuju kepada sosok Kyai yang selalu mereka tunggu petuah dan pesan-pesannya.
“Catat ya! Sejak detik ini saya mau berhenti menjadi da’i! Kalian sementara akan diajar oleh para ustadz seperti biasa. Untuk pelajaran yang saya pegang akan dibadali Kang Nasrun!”
“Kang Kurdi, mana Kang Kurdi?”
“Dalem Kyai!”
“Tolong jadwal ceramah saya setahun ini sampean cek, dan batalkan semua!”
Sambil menelan ludah, saya menjawab,
“Sendiko dawuh Kyai!” sebagai seorang santri kami tidak berani menanyakan apalagi membantah titah dari sang Kyai meskipun itu berat.
Saya dan para santri lain bertanya-tanya dan mengira-ngira apakah gerangan yang menimpa Kyai sehingga memutuskan berhenti berdakwah di tengah-tengah umat menunggu-nunggu ceramahnya yang menyejukkan dan menentramkan.
Tidak butuh waktu lama, berita ini sampai ke masyarakat luas termasuk kepada tokoh-tokoh agama lain. Sebut saja Ustadz Nasihin yang merupakan teman sejawat Kyai Mustain ikut berkomentar,
“Bagaimana mungkin Kyai Mustain berhenti berdakwah! Itu dosa namanya berhenti menyampaikan ayat-ayat Allah!” komentarnya di hadapan jemaahnya yang sedang khusyuk mendengarkan.
Kami para santri hanya diam tak berkomentar. Kami diajarkan untuk selalu berkhusnudzan oleh Kyai Mustain kepada siapapun. Namun, pertanyaan demi pertanyaan terus terngiang-ngiang di kepala kami. Hingga suatu ketika, beliau mengajak saya keluar seperti biasanya. Saya senang karena mengira beliau mau ngisi pengajian lagi. Tetapi ternyata beliau berkisah,
“Kurdi, kamu orang pertama yang saya ceritai soal kenapa saya berhenti menjadi penceramah!”
Sontak saya pasang telinga dan memperhatikan beliau sambil nyetir.
“Suatu malam saya bermimpi setelah melaksanakan shalat tahajud, dan tidak hanya sekali tetapi sampai tiga kali saya bermimpi dengan mimpi yang sama”
“Mimpi apa gerangan Kyai?” saya memberanikan bertanya.
“Dalam mimpi saya, saya melihat banyak sekali para penda’i yang kondang-kondang itu seperti Ustadz ini, ustadz itu dan yang lain semua saat saya melihat mereka wajahnya menyerupai keledai, sebagian ada yang menyerupai kera. Mereka berjingkrak-jingkrak di atas panggung merasa bahagia karena diperhatikan manusia. Saya jadi takut! Kadang yang di atas podium itu tidak lebih baik daripada yang ada di bawah yang sedang mendengarkan.”
Saya tertegun dan tidak berani berkomentar atas cerita Kyai Mustain. Sekian.
Oleh: Abayafuz (Santri penggemar pecel Mbok Sri)