Sowan Boyong (3)

 

Aly Mashar El-Maturidi

 

Waktu sudah menunjukkan pukul 14.10 Wib. Sengatan sang mentari tak lagi tajam menghujam kulit, namun terang sinar bukti eksistensinya sedikitpun tak berkurang. Mereka tetap mampu menerobos masuk ke dalam ruang tamu. Selain melalui pintu dan jendela, mereka dengan bebas masuk melalui sela-sela anyaman bambu yang dijadikan sebagian dinding ruangan itu. Memang, ruang tamu itu berdindingkan batu bata berplester, namun tingginya hanya sekitar sedada orang dewasa. Sisi atasnya kemudian berupa anyaman bambu, orang Jawa Timuran menyebutnya dengan gedhek, hingga menyentuh sisi atap. Baik dinding yang berbahan batu bata maupun gedhek,semua dicat putih dengan leburan gamping atau sering disebut dengan di-labur. Tidak itu saja, penutup atas yang juga terbuat dari anyaman bambu di ruang tamu itu pun juga di-labur. Dengan warna ruangan yang dominan putih itu, kekuatan cahaya sinar sang mentari yang masuk pun bertambah kuat. Akibatnya, meskipun tak satupun dari dua lampu yang terpasang menempel ternit menyala, tiap sudut di ruang tamu itu tak lekang dari sentuhan terang cahanya. Tak hanya barang-barang atau tulisan judul dari kitab-kitab yang tertata rapi di rak, semut di salah satu sudut dinding bawah yang berbondong-bondong pulang menuju kediamannya pun nampak jelas terlihat mata.

Alhamdulillah..” ucap Hakim lirih setelah ia sampai dan duduk ta’dhim di tempat semula dimana tadi kali pertama dipersilahkan Mbah Kyai.

Hakim lagi-lagi di ruang tamu sendirian. Mbah Kyai sesaat setelah menyuruh Hakim shalat nampak duduk di tempat biasanya beliau duduk. Sepengetahuan Hakim, Mbah Kyai belum pernah duduk selain di tempat itu ketika di ruang tamu. Beliau selalu istiqomah duduk di situ baik ketika sendirian, bercengkrama dengan keluarga, menerima tamu maupun ketika mbalah kitab tiap ba’da ‘ashar. Bedanya, ketika Mbah Kyai duduk sendirian, bercengkrama dengan keluarga atau menerima tamu, sebuah meja kayu yang panjangnya sekitar 80 cm dan tingginya 30 cm berada di sisi kanan tempat duduk beliau. Sementara ketika mbalah kitab meja itu berada persis di depan tempat duduk beliau guna menaruh kitab yang di balah.

Tempat duduk Mbah Kyai itu tepat berada di sisi kanan pintu masuk ruang keluarga, namun tidak menempel langsung dengan dinding. Antara dinding dan tempat duduk beliau terdapat rak kitab setinggi 1,5 meter yang memanjang ke kanan hingga menyentuh dinding yang satunya. Tepatnya, tempat duduk Mbah Kyai berada di sisi kanan pintu dengan membelakangi rak kitab. Posisi ini memang disengaja oleh Mbah Kyai. Jika beliau hendak membutuhkan kitab, baik untuk dibaca ketika mengisi waktu luang atau memberi penjelasan lebih luas terkait persoalan tertentu ketika mbalah kitab, maka beliau bisa dengan cepat dan mudah menggapainya.

Pyok…pyok..greek, pyok…pyok..greek, pyok…pyok..greek

Terdengar suara tidak terlalu nyaring dari luar ndalem. Suara itu sepertinya timbul dari gerakan ranting dan daun pohon yang di-senggek. Jika diamati dari kenyariangannya yang tidak terlalu keras, suara itu bersumber agak jauh dari posisi Hakim dan masih di lingkungan halaman ndalem. Hakim tidak berani melihat ke luar dan tetap duduk ta’dhim dalam posisinya. Suara itu terus terdengar.

pyok…pyok..greek, pyok…pyok..greek, pyok…pyok..greek

Setelah berlangsung sekitar 10 menit, suara itu berhenti. Suasana kembali tenang seperti semula. Hanya sesekali terdengar desisan angin dan samar-samar kicauan burung liar.

sudah selesai shalatnya Kim?” tanya Mbah Kyai.

sampun…Mbah Kyai” dengan sedikit kaget Hakim menjawab.

Secara tiba-tiba, Mbah Kyai masuk ruang tamu dari arah luar dengan membawa sebuah nampan lumayan besar. Lalu, Mbah Kyai menaruh nampan itu di depan Hakim, berjejer dengan tiga piring lain berisi makanan. Hakim baru tersadar mengenai keberadaan piring-piring itu. Semenjak kembali ke ruang tamu seusai shalat Dhuhur tadi, ia tidak memperhatikan keberadaan mereka. Karena, bagi Hakim hal itu sudah merupakan sesuatu yang biasa. Setiap ia membersihkan ruang tamu, hampir selalu ada piring atau toples berjejer rapi berisi makanan guna menyuguhi para tamu. Biasanya, jika suguhan yang tidak tahan lama dalam sehari tidak habis, Mbah Kyai meminta para khadim untuk menghabiskannya atau memberikannya kepada para santri. Beliau ngendiko bahwa tidak baik membuang-buang makanan, karena bisa mendapatkan murka Allah dan menjadi temannya setan. Namun sepengetahuan Hakim, tadi ketika ia dipersilahkan Mbah Kyai masuk ndalem, di ruang tamu belum ada suguhan sama sekali. Nampaknya, suguhan itu ditaruh ketika ia sedang melaksanakan shalat tadi.

serrrreeek…!” suara bagian bawah nampan bergesekan dengan tikar.

Kim, silahkan makan…!, seadanya…!” bersamaan dengan menaruh nampan Mbah Kyai menyilahkan Hakim.

“Inggih…Mbah Kyai” jawab Hakim dengan sedikit mengangkat kepala memandang Mbah Kyai.

Secara sekilas Hakim melihat pakaian yang dikenakan Mbah Kyai. Mbah Kyai berpakaian lazimnya ketika beliau bersih-bersih halaman atau pergi ke ladang dan sawah. Beliau hanya mengenakan kaos berlengan, celana bumbung hitam seperti celana seragam silat setinggi betis, kopyah songkok hitam, dan sarung yang diikatkan di pinggang. Selain itu, Hakim juga melihat wajah Mbah Kyai yang selalu teduh dan mengumbar senyum itu menunjukkan raut kelelahan. Butiran-butiran peluh terlihat mengalir dari dahi mengarah ke jenggot beliau yang sudah memutih. Kendatipun tidak terlalu kencang, suara ngos-ngosan nafas beliau pun terdengar. Ini semua menunjukkan bahwa Mbah Kyai baru saja melakukan pekerjaan yang lumayan menguras tenaga.

“Ma sya’a Allah.. !, Mbah Kyai sendiri ?!” gumam Hakim dalam hati dengan perasaan kaget.

Betul, sesaat setelah Hakim masuk ke ruang shalat ndalem, Mbah Kyai juga masuk ke dalam. Ia masuk ke kamar pribadinya untuk berganti pakain dan lanjut ke dapur mengambil galah dan nampan. Kemudian, dengan membawa galah dan nampan, ia keluar menuju halaman depan rumah untuk memetik buah rambutan yang kebetulan ketika itu banyak yang telah masak. Setelah diperkirakan cukup ia menyudahinya, menaruh rambutan hasil petikannya ke dalam nampan, dan membawanya ke ruang tamu untuk disuguhkan kepada Hakim.

“Silahkan dimakan Kim!” Mbah Kyai mengulangi.

Nggih Mbah Kyai

Hakim menuruti perintah Mbah Kyai. Ia mengambil suguhan yang terdekat dan sampai oleh juluran tangannya. Memang begitulah akhlak seorang tamu ketika hendak mengambil suguhan. Tidak baik seandainya mengambil suguhan yang lepas dari jangkauannya hingga memaksa tubuhnya untuk bergeser, lebih-lebih jika harus melangkahkan kaki.

Hakim mulai memakan rambutan yang telah selesai ia kupas dengan pelan dan sedikit demi sedikit. Ia tetap dalam posisi duduk ta’dhim, duduk bersimpuh dengan posisi badan dan kepala sedikit menunduk. Hanya tangan kanannya yang sesekali bergerak menyuapkan potongan rambutan yang ia ambil dari tangan kirinya ke arah mulut. Ia mengunyahnya dengan pelan, biar tidak mengeluarkan suara kecapan.

Kim, saya tak mandi dulu ya…kamu tidak apa-apa kan jika menunggu? Ngendiko Mbah Kyai.

Mboten nopo-nopo Mbah Kyai, Nyumanggaaken” dengan posisi tangan kanan sedikit diangkat dan seluruh jari digemgamkan kecuali ibu jari, Hakim mempersilahkan.

silahkan dimakan makanannya, jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri” tambah Mbah Kyai.

inggih Mbah Kyai” jawab Hakim.

Mbah Kyai pergi meninggalkan Hakim. Ia tidak pergi menuju ruang dalam ndalem, namun menuju ke luar untuk mengambil galah yang tadi ia tinggalkan di bawah pohon rambutan dan mengembalikannya ke tempat semula. Memang, Mbah Kyai tergolong orang yang primpen dan selalu ngajeni kepada semua benda, lebih-lebih kepada manusia. Ia selalu berupaya sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Terkait perilakunya ini, Mbah Kyai pernah ditanya oleh salah satu masyarakat tetangga pesantren.

Kyai, jenengan kok bisa mudah bersikap seperti itu, caranya bagaimana?” tanyanya kepada Mbah Kyai.

saya selalu berupaya menghidupkan segala sesuatu, Kang” jawab Mbah Kyai.

Sebetulnya Mbah Kyai menjelaskan persoalan itu dengan sangat luas dan detail, hingga sang penanya paham. Namun, intinya adalah penggalan jawaban Mbah Kyai di atas, yakni selalu berupaya untuk menghidupkan segala sesuatu. Kata Mbah Kyai, caranya kita harus menanmkan pada diri bahwa semua makhluk Allah di muka bumi ini semuanya hidup. Mereka semua memiliki rasa. Oleh sebab itu, jika mereka disakiti maka mereka akan marah, dan jika disayangi maka mereka pun akan merasa senang. Padahal kita tahu bahwa mereka semua adalah hamba Allah. Pastinya, jika mereka tersakiti mereka akan mengadu kepada tuannya. Mendapati hambanya tersakiti, pasti tuannya juga akan marah. Bayangkan !, bagaimana jadinya jika kita dimurkai Sang Penguasa segala? Kepada siapa kita akan mencari pertolongan? Padahal hanya Dia lah Dzat yang mampu memberi pertolongan dan perlindungan. Oleh sebab itu, tidak ada cara lain selain bersikap belas-asih dan ngajeni kepada semua hamba-Nya, jika kita hendak mengharapkan belas-asih dan ridla dari-Nya, Sang Raja Diraja.

 

*Santri Pecinta Sastra dan Dosen IAIN Surakarta

Komentar