Butiran air mengalir pelan pada kening yang berkerut, mengalir hingga ke pelupuk mata. Sampai-sampai aku tak bisa membedakan antara air mata atau keringat yang membasahi wajah kakekku. Hanya satu yang kutahu kakek sering melamun sejak kepergian nenek.
Matanya yang masih tampak segar menunjukkan kedalaman ilmu hidupnya. Di usia hampir 90 tahun, kakek masih tampak sehat bahkan, ia sering pergi ke ladang hanya untuk menghabiskan waktu di pagi hari. Kebiasaan kakek seakan menampar wajahku hingga masuk ke dalam hatiku.
“Lihat kakekmu, setiap hari salat malam, ngaji, salat subuh dan pergi ke ladang, kamu? Salat subuh tidur lagi!” Entah suara itu datang dari bagian tubuhku yang mana, aku tertunduk melihat kokohnya kaki ini menyangga berat tubuhku, aku malu.
Sudah jadi kebiasaanku setiap liburan semester pergi ke rumah kakek. Di rumah sangat membosankan. Kota membuat perut mual, kepala pusing, dan telingaku sakit, apalagi ayah dan ibu jarang meluangkan waktunya.Kami bertemu hanya pada saat makan pagi dan makan malam, itupun disiapkan oleh Mbok Genah. Hingga suatu malam aku bermimpi bertemu kakek, ia tersenyum padaku kemudian aku terbangun. Mimpi itulah yang mendorong aku pergi ke rumah kakek di akhir pecan.
Saat ini aku sedang melihat kakek duduk memandang kebun belakang rumah yang diramaikan oleh hewan-hewan peliharaan.
Aku berjalan pelan menuju kakek, hidung kakek yang diturunkan padaku tampak kokoh menjulang di antara bagian wajah yang lain, tanpa kusadari aku raba hidungku sendiri,
“Terimakasih, Kek” batinku.
Mendengar langkah kakiku kakek menoleh dan tersenyum. Aku terdiam, namun otakku bekerja lebih cepat dari yang kuduga, senyum itu pikirku aku tidak sedang bermimpi, benar itu senyum kakek dalam mimpiku. Melihat aku terdiam kakek mengangkat tangan kanannya dan memintaku duduk di sebelahnya.
“Deloken pitik kae, Le.” (lihat ayam itu, Nak)
“Nggih, Mbah” (Iya, Kek)
“Wis tak cepaki panganan, isih eker-eker lemah, lho ngono kok yo oleh panganan, ha ha ha ha” (sudah aku siapkan makanan, masih mencari makan lagi)
“Nggih, Mbah.” Memangnya ada apa dengan ayam yang mencari makan di tanah, pikirku.
Tiba-tiba asap rokok kakek menggugah kesadaranku, “Koe mikir opo, Le? Gak mudeng sing tak karepno?” (Kamu memikirkan apa, Nak? Tidak paham yang kumaksud?)
“Mboten, Mbah. Kadosse sedoyo pitik nggih ngoten, Mbah?” (Tidak, Kek, semua ayam memang begitu, Kek)
“Bener koe, Le, ora gur pitik, awak dewe yo ngono, meneh mbahmu. Mbahmu iki lak pensiunan tentara, Le, ora usah mergawe pensiunane mbahmu turah-turah, keno kanggo nyangoni koe, ha ha ha”. (Kamu benar, Nak, tidak hanya ayam, kita juga begitu, apalagi kakekmu pensiunan tentara, uang pensiun kakekmu cukup untuk hidup, bahkan bisa untuk memberi kamu). Aku tersenyum malu mendengar sindiran kakek,
“Rungokno, Le, opo sing pitik kae lakoni kui minangka sunatullah, yen koe iso bahasa pitik, banget syukure pitik mau marang gusti Allah. Aku minangka lantaran sing dikongkon ngopenni pitik mau, Gusti Allah yo wis nyukupi uripku, lantaran lewat pengabdianku marang negara, ngusir penjajah mbiyen, Le.” (Dengarkan baik-baik Nak, apa yang ayam itu kerjakan adalah sunatullah, jika kamu bisa bahasa ayam, bersyukur sekali ayam itu pada Allah SWT, kakek hanya perantara untuk merawat ayam itu, Gusti Allah juga telah mencukupkan hidupku, pengabdianku pada negara hanya perantara).
Andai aku bisa mendengar kegelisahan batin kakek mungkin aku bisa memaknai, mata kakek yang mulai berkaca-kaca. Mungkinkah kakek terbayang aksi heroik ia beserta laskarnya dalam mengusir penjajah, ataukah kakek teringat masa susah bersama nenek, kuputuskan terdiam dalam pikiran yang berkecamuk.
“Aku iso ugo mbeleh pitik kae terus tak pangan, bareng awakmu, pitik e mlebu swarga, awak dewe gak cetho, Le. Mbiyen kok aku gak mati wae yo pas perang.” (Aku bisa menyembelih ayam itu, kemudian kita makan bersama, ayamnya masuk surga, kita belum jelas Nak, kenapa dulu aku tidak mati saja ketika perang). Air mata yang tertahan akhirnya tertumpah, katup mata kakek yang keriput tak mampu menahan bendungan air yang menggambarkan pergolakan batin begitu kuatnya.
“Le, ojo nganti lali opo wae sing awak dewe lakoni niate karna Allah Ta’ala, koe kuliah karna Allah, koe merene karna Allah, bismillah, Le, yen diniatke karna Allah, Insya Alloh ora ngecewani, senajan ora podo karo kekarepanmu”. (Nak, jangan sampai lupa, apa saja yang kita kerjakan niatkan karena Allah, kamu kuliah karena Allah, kamu kesini karena Allah, bismillah jika diniatkan karena Allah Insya Allah tidak mengecewakan, meskipun hasilnya tidak sesuai harapanmu)
Tiba-tiba kakek menutup mukanya dengan tangan, kemudian ia menangis. Aku melihat kakek sosok yang kuat, tangguh, perkasa, disegani banyak orang, menangis di sampingku karena alasan yang tak ku mengerti, membuat hatiku bergetar hebat. Air mata membasahi mataku yang kering. Aku tertunduk melihat puntung rokok yang dibuang kakek. Mataku berkaca-kaca, kuingat dosa-dosaku, perbuatanku, semua yang bertentangan dengan hatiku saat ini. Mengingat peristiwa itu ikut pula berderai air mata tanpa suara tanpa pelukan tangan.
Sengaja kubiarkan air mataku mengalir membasahi wajah. Kubiarkan hatiku yang kering terisi nasihat kakek, kubiarkan semua hal di sekitar menyaksikan peristiwa ini. Kakek dan cucunya menangis dalam pikiran mereka masing-masing.