Abd. Halim*
Di jaman sekarang ini, banyak yang suka atau mengaku ulama dengan hanya berbekal penampilan dan pengetahuan seadanya. Padahal jika memahami hakikat ulama’ dan tanggungjawabnya, niscaya seseorang akan enggan disebut sebagai ulama. Lantas siapakah ulama itu? Dalam al-Quran disebutkan bahwa salah satu karakter ulama adalah pribadi yang bertakwa kepada Allah Swt.
Sedangkan di dalam hadis Nabi, ulama disebut-sebut sebagai pewaris para nabi. Ada yang memahami yang diwarisi adalah pengetahuan tentang al-Quran dan hadis. Namun, ada juga yang memahami bahwa yang diwarisi adalah keilmuan dan karakter para Nabi yang kesemuanya memiliki ciri khas yang berbeda-beda.
Dalam kitab Adabul Alim wal Muta’allim, Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ary membahas secara terperinci tentang adab atau etika seorang alim. Orang-orang yang memiliki karakter seperti ini patut untuk kita teladani dan mengambil ilmu hikmah darinya. Di antaranya yang disebutkan adalah:
“ …… Orang alim itu selalu bergaul dengan orang lain dengan akhlak yang mulia seperti wajah yang selalu berseri-seri, menebar salam, memberikan makanan dan dan menahan amarah. Selain itu, ia selalu menahan diri dari menyakiti orang lain namun ia sendiri menahan diri dari perilaku buruk orang lain terhadap dirinya.
Ulama itu selalu mendahulukan orang lain dari pada kepentingan dirinya. Ia sendiri tidak suka didahulukan dan diistimewakan. Ia selalu bersifat adil jika berkenaan dengan orang lain dan tidak meminta diperlakukan adil. Yang terpenting baginya adalah kepentingan umat, bukan kepentingan pribadi, kelompok atau mazhab.
Ulama itu selalu berterimakasih kepada setiap sesuatu yang didapatkan. Tidak ngersulo. Ia selalu berusaha untuk mewujudkan situasi yang aman dan nyaman (rôhah) dan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain. Bahkan, untuk menolong orang lain, ia rela mengorbankan jabatan dan pangkatnya. Ia selalu bersikap lemah lembut terhadap fakir miskin, mencintai tetangga, kerabat, sejawat, serta sangat sayang kepada murid-muridnya.
Ulama itu jika melihat di antara para muridnya kurang sempurna dalam persoalan shalat dan bersucinya, maka ia membimbingnya dengan penuh kelembutan sebagaimana Rasulullah membimbing para sahabat dengan penuh kelembutan. Jauh dari sikap kasar. Seperti contoh sikap Nabi terhadap orang badui yang kencing di masjid.”
Begitulah salah satu yang dijelaskan oleh Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ary dalam kitabnya Adabul Alim wal Muta’allim tentang akhlak ulama. Sungguh sangat berat bukan? Jadi, jangan gampang hati dan enteng diri untuk menyebut diri sebagai ulama. Jika kita menemui sosok dengan akhlak yang disebutkan ini, maka kita sangat dianjurkan untuk berguru kepada sosok tersebut. Wallahu a’lam.