Begitu banyak tokoh bangsa yang memberikan teladan dedikasi dan integritas. Hamsad Rangkuti salah satunya. Seorang prosais yang wafat 26 Agustus 2018 di Depok pada usia 75 tahun.
Kabar kematian itu membangkitkan kenangan saya membaca novel Ketika Lampu Berwarna Merah, salah satu karya Hamsad Rangkuti. Novel itu saya baca saat duduk di bangku SMA. Sebuah novel berlatar ibukota yang “kejam”. Menurut Hamsad, novel itu ditulis berdasarkan pengalamannya berpetualang di gubuk-gubuk liar di bantaran Kali Ciliwung. Ketika Lampu Berwarna Merah menyabet penghargaan dalam Sayembara Penulisan Roman DKJ 1980.
Hamsad meninggalkan sejumlah karya, terutama cerpen. Salah satu judul cerpennya yang paling ikonik adalah Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku Dengan Bibirmu? Dalam pandangan Ahmadul Faqih Mahfudz, meski sekilas cerpen itu tampak erotis, tapi sejatinya mengandung banyak metafora sufistik. Ia mendedah asumsi itu dalam tulisan Salik yang Bercinta Melalui Cerita (Jawapos, 2/9/2018).
Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku Dengan Bibirmu? terdiri dari sembilan kata. Judul cerpen yang panjang. Lebih-lebih jika kita bandingan dengan judul-judul prosa Putu Wijaya, yang biasanya hanya satu kata atau bahkan satu suku kata. Boleh jadi tren menulis judul cerpen dengan semangat berpanjang-panjang saat ini terinspirasi dari cara Hamsad membuat judul.
Membincang judul, Hamsad sebetulnya tidak sepenuhnya identik dengan judul-judul panjang. Apabila kita tengok buku kumpulan cerpen Bibir dalam Pispot kita akan bertemu judul-judul seperti Pispot, Palasik, Antena dan Kunang-kunang. Komposisi judul yang pendek belaka. Bahkan, judul Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku Dengan Bibirmu? adalah satu-satunya judul panjang di kumpulan itu.
Pada pengantar Bibir dalam Pispot Hamsad mengaku sebagai pelamun garis keras. Ia sering duduk berlama-lama di atas pohon. Hamsad kecil juga gemar mendengar ayahnya mendongeng.
Pengantar buku yang diniatkan sebagai catatan proses kreatif Hamsad itu juga merekam kisah interaksi Hamsad dengan cerpen-cerpen dunia. Hamsad mengaku saat itu tak mampu beli koran dan buku. Ia membaca koran tempel di halaman kantor Wedana. Koran yang memuat cerpen-cerpen Chekov, Gorky, Hemingway dll.
Pada catatan yang ditulis Hamsad itu juga terungkap bahwa ia sebetulnya tipe penulis cerpen yang gampang terinspirasi oleh suatu peristiwa. Misalnya ketika Hamsad berjumpa dengan seorang anak yang meninggal setelah dikhitan. Karena terus dihantui peristiwa itu, Hamsad menulis cerpen “Panggilan Rasul”.
Adapun ketika mengetahui panggilan azan dari toa masjid kalah keras dengan toa dari taman hiburan, Hamsad melahirkan cerpen “Mesjid”.
Salah satu fase yang menarik dicermati dari karier kepenulisan Hamsad adalah saat ia mulai menulis dengan memperhatikan unsur teknik, tidak sekadar dituntun bakat. Hamsad pernah bilang bahwa ia belajar menulis secara otodidak. Kalaupun ada buku panduan menulis yang ia baca di awal karier kepenulisannya hanyalah buku Tehnik Mengarang (Mochtar Lubis).
Namun, setelah ia hijrah ke Jakarta dan mengikuti workshop menulis skenario ia merasa menjadi sangat lancar menulis. Baginya, menulis cerpen adalah perkara “menimbang komposisi, menyeleksi informasi, membangun unsur dramatik dan memasukkan unsur keindahan”.
F. Rahardi dalam epilog kumpulan Cerpen Bibir dalam Pispot mengatakan cerpen-cerpen Hamsad berhasil melukiskan kehidupan rakyat kecil namun tidak terjebak dalam keberpihakan yang cengeng. Hamsad, menurut F. Rahardi, sangat produktif dan cerpen-cerpennya tetap bekualitas. Hamsad menunjukkan kepada kita bahwa menulis karya sastra adalah soal ketrampilan dan kedalaman menggali permasalahan.
Sementara Warih Wisatsana menyebut tokoh-tokoh Hamsad menjauhi klise. Tidak terperosok dalam dikotomi hitam dan putih, antara si jahat dan si baik. Hal itu, menurut Warih adalah “buah dari beragam pengalaman yang disublimasi menjadi pemahaman mendalam”. (Kompas, 1/9/2018)
Kini, Hamsad Rangkuti telah pergi. Ia meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi kita.