Dulu, setiap pulang kampung, saya ingin sekali cepat ke pesantren al-Amien. Tujuan utamanya adalah sowan ke Kiai Idris Djauhari. Siapapun yang pernah menjadi santri langsung almarhum, pasti selalu ingin berjumpa Kiai yang yang alim dan arif itu. Rasanya ingin cepat-cepat mencium tangan Kiai Idris. Beliau adalah sosok yang hafal ribuan santri dan alumni.

Kiai Idris selalu menganggap kami para santrinya sebagai “anak-anaknya”. Dan kami semua para santrinya merasa dekat dengan Kiai Idris. Kami menganggap beliau sebagai orang tua yang selalu menerima kami dengan hangat.

Dari Kiai Idris, saya sendiri belajar dua hal: membaca dan menulis. Kiai Idris dikenal kutu buku dan rajin menulis. Maka jangan heran kalau para alumni al-Amien banyak yang menjadi penulis handal. Saya sendiri belajar dari Kiai Idris betapa membaca dan menulis menjadi dua kenikmatan yang tiada tara. Ketika masa akhir mondok, saya langsung menulis cita-cita di buku: saya ingin menjadi penulis. Sumber inspirasinya adalah Kiai Idris.

Ada satu lagi yang melekat dalam diri Kiai idris adalah kearifan. Nah, kearifan inilah yang menjadikan warisan Kiai Idris selalu “hidup” sepanjang masa. Beliau berhasil menjaga al-Amien dari badai politik. Beliau kokoh menjadikan al-Amien berdiri di atas semua golongan.

Ini yang menjadikan Kiai Idris sangat spesial bagi umat dan bangsa, karena tidak semua energi bangsa ini dikerahkan untuk politik. Meski Kiai Idris selalu paham dinamika politik, tapi beliau selalu fokus pada pendidikan umat dan menjadikan pendidikan sebagai pilar penting dalam membangun bangsa.

Akhir-akhir ini, kalau saya pulang ke kampung halaman, sudah tidak ada rasa lagi ingin mampir ke Pesantren al-Amien. Tidak ada getaran yang membuat saya ingin lekas-lekas mampir ke pondok. Saya tidak tahu apa jawabannya. Sepertinya sosok “orang tua” seperti Kiai Idris makin langka di pesantren saya.

Sekarang banyak yang menanyakan kepada saya perihal Pesantren Al-Amien dan sikap politiknya. Saya jawab sederhana, al-Amien punya prinsip, “berdiri di atas semua golongan”. Tapi saya tidak tahu bagaimana implementasi dari prinsip itu saat ini. Wallahu a’lam.

Dan kemarin, sebelum balik ke Jakarta dan seperti saat-saat mudik sebelumnya, saya berziarah ke makam Kiai Idris, Kiai Tidjani, dan Kiai Maktum. Saya selalu berdoa semoga warisan para masyayikh selalu mewarnai Pesantren Al-Amien dalam perjalanan yang akan datang. Selalu rindu para Masyayikh, wabil khusus Kiai Idris yang selalu mengajarkan pentingnya akhlak dan kearifan dalam hidup.

Bahkan sampai sekarang, pesan-pesan dan nasehat Kiai Idris masih segar dalam ingatan saya. Sungguh saya rindu Kiai Idris. Andai beliau masih hidup, kita semua para alumninya akan minum air kearifan yang luar biasa. Kita tidak akan terombang-ambing akibat polarisasi politik yang fana ini.

Untuk meneladani Kiai Idris dan para masyayikh Al-Amien, saya setiap hari membaca tahlil khusus. Sungguh rindu kepada Kiai Idris tiada taranya.

 

Komentar