Indonesia bukan negara agama, tapi negara beragama. Semboyan ini mengingatkan kita pada sosok bersahaja K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sosok yang lahir di Jombang, 7 September 1940 silam ini merupakan presiden keempat Republik Indonesia.
Gus Dur lahir dari keluarga terhormat keturunan Muslim. Kakeknya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri organisasi terbesar Islam Nahdlatul Ulama (NU). Ayahnya sendiri ialah K.H. Wahid Hasyim yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama pada 1949.
Meskipun Gus Dur lahir dari kalangan yang akrab dengan nilai-nilai keislaman, beliau tetap menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme. Dua kutub gagasan yang selama ini diperdebatkan (apakah bisa menyatu) justru menyatu dan menjadi ciri khas Gus Dur.
Bapak dari empat putri ini sangat menghargai warna-warni perbedaan yang ada di Indonesia, khususnya dalam hal agama. Semboyan “Indonesia bukan negara agama, tapi negara beragama.”, yang pernah Gus Dur utarakan selayaknya menjadi pedoman untuk kita semua di tengah eskalasi semangat Islamisme sekaligus intoleransi.
Sosok Gus Dur yang dikenal toleran membuat dirinya dijuluki banyak kalangan sebagai Bapak Pluralisme, laqob (gelar) yang memang patut disandangnya. Melalui semangat pluralisme, Gus Dur secara terang-terangan melindungi hak-hak minoritas di Indonesia.
Hal itu dibuktikan dengan kebijakan-kebijakan pro-minoritas yang beliau keluarkan saat menjabat menjadi presiden keempat Republik Indonesia (1999-2001). Salah satunya adalah kebijakan penghapusan pelarangan peringatan Imlek dan atribut Tionghoa, yang membuatnya dijuluki Bapaknya Orang Tionghoa.
Tidak melulu agamis dan nasionalis, Gus Dur juga terkenal sebagai humoris. Ini hal menarik yang saya sukai dari beliau. Pernah suatu ketika saat berbincang dengan presiden kesembilan Israel, Shimon Peres, Gus Dur menyampaikan ide agar Israel mengimpor kutang dari Perancis. Menurut Gus Dur, Israel akan untung dua kali lipat. Bingung dengan ide Gus Dur, Shimon kemudian meminta penjelasan. Gus Dur kemudian menjelaskan, tak lama kemudian presiden Israel itu terbahak-bahak.
“Imporlah kutang dari Perancis, setelah itu potong jadi dua, setelah dipotong baru dijual. Kutang yang aslinya hanya bisa dipakai satu orang, di Israel bisa dipakai dua orang asal dipotong dulu. Jangan lupa tali-tali pengikatnya dibuang dulu. Kalian bisa memakai kutang sebagai topi untuk pergi ke tembok ratapan.” celoteh Gus Dur.
Humor kelas wahid ala Gus Dur membuat Shimon tertawa hingga terbatuk-batuk, mengingat topi yang digunakan orang-orang Yahudi di Israel memiliki bentuk bulat dan hanya menutupi ubun-ubun.
Pribadi yang agamis, nasionalis, juga humoris menjadikan Gus Dur sosok yang sangat istimewa dan digemari oleh berbagai kalangan masyarakat. Tak heran, sampai sekarang namanya tetap lestari di seluruh pelosok negeri.