Aku memang tidak berhubungan akrab baik secara personal ataupun intelektual dengan beliau, sekalipun aku merupakan salah satu alumni dari Futuhiyyah.

Bagi yang pernah mengenyam pendidikan di Futuhiyyah, khususnya periode angkatan 88-94 mesti maklum, karena beliau saat itu fokus memimpin MA Futuhiyyah 2. Madrasah yang beliau arahkan untuk melayani jurusan umum, selain keagamaan. Sementara, aku mengikuti Madrasah Futuhiyyah 1 yang fokus pada jurusan agama atau pesantren.

Pertautanku kepada beliau justru pada performa beliau yang setiap hari aku saksikan karena rumah beliau tepat di depan kelasku saat tingkat MTs. Setiap hari aku saksikan beliau yang selalu perlente, rapi, dan intelek. Ada kekaguman saat beliau keluar-masuk rumah. Tampak sekali sebagai pribadi yang disiplin. Dari cara berjalan, berpakaian, dan cara menatap. Tampak ada visi besar yang beliau emban dan inginkan.

Aku semakin kagum, saat tingkat MA. Aku membaca Mading di lt 1, di depan madrasah ada tulisan panjang beliau di majalah Tempo, majalah yang masih jarang dijamah kalangan santri. Uniknya beliau menyebut dirinya sebagai “santri teklek”.

Dalam tulisan tersebut beliau paparkan bantahan ilmiah menjawab keraguan tentang Isra Mi’roj dari kalangan intelektual. Argumentasi beliau sangat kontekstual dengan memadukan teks-teks klasik keagamaan dengan analisis yang mendalam.
Setelah itu, lama sekali aku tidak mengikuti beliau selain dari karya-karya beliau yang rajin membela ajaran ahlussunah waj jamaah, seperti tahlilan dan ziarah kubur.

Cerita tentang beliau saya peroleh justru dari bapakku KH. Muhammad Ridhwan (Alm) yang pernah menjadi abdi dalem Simbah Muslih. Bapak bercerita bagaimana saat merawat masa kecil beliau bersama kakak beliau Alm KH.MS Luthfi Hakim.

Menurut beliau, Hanif kecil adalah sosok yang memang mempunyai hasrat yang tinggi dalam mencapai sesuatu. Suka bereksplorasi terhadap banyak hal, karena itu tidak heran ketika jalur pendidikan beliau mampu melampaui pendidikan santri pesantren saat itu. Itupun beliau masih mengidentifikasi diri sebagai santri teklek.

Sekalipun saat awal-awal pulang dari Arab Saudi sempat mempunyai argumentasi yang berbeda nalar mainstream pesantren, namun justru berbekal kemampuan argumen tersebut akhirnya dapat menjadi bekal dalam membela ajaran aswaja an-nahdhiyah.
Sebagaimana pepatah, “harimau tidak pernah melahirkan kucing”.

Pribadi simbah Muslih sebagai seorang Mursyid Besar Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, mengejawantah dan meretas ke dalam pribadi beliau. Kerinduan Zawiyah Sufi menarik kembali beliau dari pengembaraan sebagai intelektual, aktivis organisasi masyarakat, bahkan anggota legislatif untuk menikmati khalwat zikir, kesunyian munajat, dan kedekatan dengan Al-Khaliq. Bahkan dalam penghujung usia beliau menjadi penerus thariqah qodariah wa Naqsyabandiyah, sebagai Mursyid.

Selamat jalan Kiai Hanif Muslih, intelektual pesantren, santri teklek, dan Mursyid. Selamat berjumpa dengan kekasih. Amin…

 

Komentar