Nasab lengkap KH. Abdul Djalil Ma’roef adalah KH. Abdul Djalil Ma’roef bin Mansur bin Abdul Jalil bin Ma’roef. Bila ditelususi ke atas maka nasabnya akan bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Beliau merupakan ulama keturunan Banjar yang di lahirkan di Manado, Sulawesi Utara sekitar tahun 1921. Ia merupakan anak ke dua dari lima bersaudara: 1). Thaha Ma’roef, 2). Abdul Djalil Ma’roef, 3). Zein Ma’roef, 4). Zainun Ma’roef, dan 5). Fakhruddin Ma’roef.

Sejak kecil KH. Abdul Djalil Ma’roef telah mendapat Pendidikan Agama dari keluarganya yang memang merupakan keluarga ulama yang sangat religius. Beliau sempat pula bersekolah dasar di Lembaga bentukan Belanda, Volk-School. Namun Pendidikan di Madrasah Sullam al-Khair Manado yang sangat membekas dan mematangkan keilmuannya. Di Lembaga ini semua santri diwajibkan untuk berbicara menggunakan bahasa Arab.

Setelah menyelesaikan Pendidikan Sullamul Khair di Manado, KH. Abdul Djalil Ma’roef merantau ke Indragiri tepatnya di Sapat. Di tempat ini ia mengabdikan ilmu Agama yang didapatnya ke Madrasah Musyawattuthalibin Sapat yang dipelopori oleh Tuan Guru Hayat Abdurrahman, Tuan Guru Abdul Samad Umar, Tuan Guru Arsyad, Tuan Guru Awang, dan Cikgu Kemas Mursyid. Tiga tokoh terakhir ini merupakan alumni Madrasah al-Junaed Singapura.

Sekitar usia 25 tahun atau sekitar tahun 1945, beliau menikah dengan murid Tuan Guru Sapat, yakni Hj. Shafura binti H. Khalid. H. Khalid atau mertuanya ini merupakan teman sepergaulan Tuan Guru Sabran Rahmat dan Tuan Guru Abdul Samad Umar. Pernikahan beliau ini dianugerahi tujuh orang anak: 1). Fakhri, 2). Nurlahayati, 3). Misjuwita, 4). Fahlawati, 5). Tajuddin Noer, 6). Anang Ilmi, dan 7) Masnihati. Sekarang hanya tinggal bertiga yang masih hidup, Misjuwita, Fahlawati, dan Tajuddin Noer.

KH. Abdul Djalil Ma’roef aktif memberikan pengajian kitab kuning, baik di rumahnya, maupun di beberapa daerah Indragiri Hilir seperti Mumpa, Tanjung Baru, dan Enok. Di antara kitab-kitab yang pernah beliau ajarkan antara lain: Kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, Kitab al-Umm karya Imam al-Syafi’i, Kitab Iqna fi Halli al-Fazh Abi Syuja’ karya Khatib al-Syarbini, Kitab Hasyiyah al-Bajuri karya Ibrahim al-Bajuri, Kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Ibn Hajar al-Haitami, dan kitab Nihayah al-Muhtaj karya Imam al-Ramli.

Dari kitab-kitab yang beliau ajarkan maka terlihat jelas kapasitas keilmuan beliau sebagai seorang ulama. Bahkan menurut informasi Tajuddin Noer (putra KH. Abdul Djalil Ma’roef), bahwa beberapa ustadz muda yang ingin atau telah kembali dari Mesir kerap belajar dan bermudzakarah dengan beliau, di antaranya adalah Ustadz Ahmad Rifani Lc, Ustadz Ahmad Khusyairi, Lc, dan Ustadz Ahmad Riva’at, Lc. Mereka adalah cucu-cucu dan anak KH. Bustani Qadri yang merupakan lulusan Gontor dan Universitas al-Azhar Mesir.

Untuk membaca kitab-kitab kuning, KH. Abdul Djalil Ma’roef menekankan pentingnya belajar ilmu alat, Nahwu, Sharaf, Mantiq, Balaghah, Ma’ani, Bayan, Badi’, dan Arudh. Bila telah mempelajari ilmu-ilmu ini baru mudah untuk membuka kitab-kitab kuning dan memahaminya. Barulah status keulamaan dapat disandang. Di antara murid-murid beliau yang menjadi ulama penerusnya adalah KH. Darmawi Acil (termasuk Kyai Pendiri Pondok Pesantern al-Baqiyatussa’adiyah Tembilahan) dan Guru H. Ardan (seorang tokoh Agama di Enok).

Pada tahun 1955, KH. Abdul Djalil Ma’roef bergabung dengan partai Nahdlatul Ulama (NU) cabang Indragiri. Rekan seperjuangannya ketika itu adalah Tuan Guru Sabran Rahmat dan Tuan Guru Abdul Samad Umar. Setelah Nahdlatul Ulama (NU) kembali ke Khittah dan tidak ikut dalam politik aktif. Pada tahun 1973 beliau bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

KH. Abdul Djalil Ma’roef sempat pula ditujuk menjadi ketua Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Provinsi Riau 1998. Ketika itu sebagai Ketua Tanfiziyah adalah Drs. H. Arifin DS dan Sekretarisnya Drs. H. Khaidir Kadir. Pada periode berikutnya Dewan Syura berpindah ke Drs. Khaidir Mawatfa, sedangkan Ketua Tanfiziyah adalah Badar Ali Madjid. Kemudian ketua Tanfiziyah diteruskan oleh Ir. Lukman Edy dan sekarang oleh Abdul Wahid, S.Pd.I.

Rentang tahun 1956-1958, Wan Ghalib bersama KH. Abdul Djalil Ma’roef menjadi Sekretaris Penghubung Masyarakat Riau untuk memperjuangkan pemekaran Riau sebagai provinsi yang berdiri sendiri. Sebelumnya merupakan Provinsi Sumatera Tengah yang dimekarkan menjadi tiga provinsi, Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.

Sebelum tahun 1965 KH. Abdul Djalil Ma’roef turut pula memperjuangkan pemekaran Kabupaten Indragiri menjadi Indragiri Hulu beribukota Rengat dan Indragiri Hilir dengan ibukotanya Tembilahan. Ia bersama rekan-rekannya membangun Badan Kongres Rakyat Indragiri Hilir (BAKRIH). BAKRIH melaksanakan musyawarah pembentukan kabupaten Indragiri Hilir pertama kali di Gedung Madrasah Nahdlatul Ulama (NU) di Jl. Soedirman Tembilahan dekat Masjid Agung al-Huda sekarang. Di Madrasah NU ini pula beliau menjadi tenaga pengajar bersama Tuan Guru Sabran Rahmat.

Karir di bidang pemerintahan, KH. Abdul Djalil Ma’roef menjadi anggota DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat- Gotong Royong) di awal-awal masa pemerintahan Orde Baru. Ia juga sempat ditawari menjadi Kepala Dinas Penerangan. Namun beliau menolak tawaran tersebut. Hal yang sama juga terjadi ketika ia diajak oleh rekannya Syafi’i Hasan untuk menjadi dosen di IAIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, ia pun menolak secara halus ajakan tersebut.

Di bidang keulamaan, KH. Abdul Djalil Ma’roef pernah berkiprah sebagai anggota MUI Kabupaten Indragiri Hilir dan MUI Provinsi Riau di Komisi Fatwa. Kedua jabatan di MUI ini ia sandang bersamaan dengan KH. Abdul Hamid Sulaiman sebagai ketua MUI. KH. Abdul Djalil Ma’roef juga pernah menjadi Wakil Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) provinsi Riau mendampingi H. Nong Abdullah Syech (beliau ini pernah menjabat sebagai anggota DPRD Riau dari partai PPP).

Di akhir hayat KH. Abdul Djalil Ma’roef karena jasa dan pengorbanannya, beliau diamanahi sebagai ketua Legium Veteran Kabupaten Indragiri Hilir. Beliau wafat di Tembilahan Jl. H. Hasan pada hari Senin 3 Oktober 2016 M/ 2 Muharram 1438 H. Jenazahnya dishalatkan di Masjid Agung al-Huda Tembilahan dan dilepas dengan upacara militer. Sejatinya beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Yudha Bakti Tembilahan. Akan tetapi karena kerendahan hati beliau, beliau tidak ingin dimakamkan di tempat tersebut, melaikan dimakamkan seperti rakyat biasa di Pemakaman Umum Jl. Perintis Tembilahan.

Komentar