Sore jelang Magrib, 17 Maret 2022.

“Saya punya teman,” cerita Pak Dian, sambil kami menaiki tangga lantai dua Masjid Joglo, PP Al Muayyad Windan.

Tempat saya menemui Pak Dian itu, secara spesifik, masih kinclong. Lantainya, temboknya, meski tidak dengan kayu-kayunya–barangkali karena ornamen kayu-kayu di Masjid Joglo masih mempertahankan bentuk bangunan lama.

Sebuah bangunan yang beberapa hari sebelumnya baru diresmikan oleh K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus). Lantai satu menjadi tempat pertemuan, lantai dua jadi masjid.

Pak Dian terus bercerita mengenai temannya itu–yang sejujurnya saya tak begitu ingat namanya—sambil mengajak saya melihat pemandangan dari lantai dua balkon Masjid Joglo Al Muayyad Windan.

Kami bersenderan di pagar balkon. “Kalau sore begini, bagus pemandangannya.”

Oh, oke. Prolog cerita soal teman Pak Dian tadi sepertinya tidak dilanjut.

Tangan Pak Dian lalu menangkap frame demi frame “pemandangan” yang dimaksud dari lantai dua Masjid Joglo. Sambil menceritakan betapa bahagianya Pak Dian dengan pemandangan dari balkon ini.

Kebahagiaan yang sebenarnya mencerminkan banyak sekali kelegaan.

Kelegaan yang rupanya ada sangkut pautnya juga dengan cerita soal “teman” yang tadi diceritakan Pak Dian

“Teman saya itu tadi…” lanjut Pak Dian memulai kembali cerita utamanya, “agak kecewa sama saya.”

(Karena saya tak begitu ingat detail asli kalimat Pak Dian, maka setiap kalimat Pak Dian yang saya tulis di sini akan saya parafrasekan sesuai dengan apa yang saya ingat).

Di cerita itu, teman Pak Dian kecewa karena, “Seharusnya Pak Dian itu sekolah terus. Sampai S3, bahkan mungkin sampai Guru Besar. Agar ilmu Pak Dian ini bisa diakui.”

Si teman ini bicara begitu, karena ia adalah seorang pengajar juga. Di perguruan tinggi. Sehingga ketika sadar Pak Dian tidak mengajar di universitas sebagai dosen, si teman ini merasa sedikit kecewa.

Tambah kecewa karena melihat Pak Dian “hanya” mengajar di pesantren kecil dengan santri tak sampai ribuan.

Semakin kecewa lagi karena segala macam potensi dan akses untuk menjadi Doktor atau Guru Besar bukan sesuatu yang mustahil bagi Pak Dian, tapi Pak Dian tampak tak tertarik dengan pengakuan-pengakuan itu semua dan lebih memilih “merawat” pendidikan sekelas pesantren ini.

Singkat cerita, kekecewaan si teman ini pun dimaklumi oleh Pak Dian begitu saja. Tanpa apologi, tanpa pledoi.

Sampai kemudian, beberapa dekade berlalu. Pada suatu kesempatan, Pak Dian bertemu lagi dengan si teman. Situasi sudah berbeda. Si teman, kini sudah pensiun dari pekerjaannya, sedangkan Pak Dian tidak.

Dengan berjiwa besar, si teman berkata ke Pak Dian, “Kini saya paham, apa bedanya yang dijalani oleh Pak Dian dengan apa yang saya kerjakan.”

“Orang seperti saya,” kata si teman ini, “akan ‘selesai’ kalau sudah pensiun. Paling banter bukunya cuma dikutip di mana-mana. Tidak jadi apa-apa juga kalau sudah senja. Mau balik ke keluarga lagi juga susah, karena seumur hidup sudah terlalu sibuk kerja ke mana-mana.”

“Beda dengan orang seperti Pak Dian. Tidak punya masa kerja, tidak memiliki masa bakti, dan juga tidak memiliki usia pensiun. Bahkan tidak perlu berpikir untuk kembali berhubungan dengan keluarga, lah wong murid-murid di pesantren ini juga sudah jadi keluarga Pak Dian sendiri.”

Dalam bayangan saya. Cerita tersebut menjelaskan soal dua model sosok intelektual.

Pertama, mereka yang tak berpegangan dengan akar. Meninggalkan semua latar belakang kehidupannya. Melupakan asal-usulnya. Mungkin ia tak merasa cocok dengan lingkungan keluarga masa kecilnya, atau memang tak mau “pulang” aja ke kediamannya.

Ia bisa sukses. Kaya raya. Dikenal oleh banyak orang karena kejeniusannya. Semua orang hormat. Bahkan sampai ia nanti tiada. Tapi hanya namanya. Temuannya saja, ilmunya saja, tidak betul-betul manusianya.

Lalu kedua, mereka yang berpegangan dengan akar latar belakangnya. Terus bergandengan dengan asal-usulnya. Keluar ke mana-mana, tapi selalu ingat jalan pulang, dan terus kembali ke keluarganya atau orang-orang di sekitarnya.

Baiklah. Si intelektual ini bisa saja bangkrut. Jatuh miskin. Mungkin bakal tidak seterkenal intelektual pertama. Hanya saja, setiap orang yang mengenalnya, akan merasa bahwa ia adalah keluarganya.

Dan sebagaimana keluarga akan diperlakukan, ia akan dijaga seterusnya sampai kapanpun karena keluarganya ada di mana-mana.

Kisahnya akan diceritakan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sehingga pada suatu titik nantinya, kisah itu bisa jadi legenda.

—-000—-

Isya tadi, ada beberapa wartawan yang mengontak saya, menanyakan soal Pak Dian.

Rata-rata bertanya mengenai rencana pemakamannya, apa penyebabnya, dan hal-hal terkait informasi wafatnya beliau.

Saya tak mau menjawab itu semua, karena…

…pertama; saya merasa tak berhak menjawab itu semua.

Kedua; jika saja Anda bertanya bagaimana Pak Dian dikenal semasa hidup, saya akan dengan senang hati menceritakannya, bahkan merekomendasikan, siapa saja narasumber yang bisa Anda wawancara, bukan malah bertanya soal fase epilog kehidupannya.

Komentar