Satu waktu, kami, mahasiswa -mahasiswi Jurusan Ushuluddin STAIN Surakarta (saat ini sedang dalam proses menjadi UIN Surakarta) dikumpulkan di aula. Kami bingung, ada apa gerangan. Sang Ketua Jurusan, kemudian berbicara dengan nada gundah.

Persisnya saya lupa. Intinya, beliau galau. Ada peluang bantuan untuk jurusannya yang baru seumur jagung. Namun seperti biasa di masa Orda Baru, bersamaan dengan bantuan itu akan ada peluang salam tempel dan pelicin. Beliau tidak mau disalahkan mahasiswa karena menolak bantuan yang memang sedang sangat dibutuhkan. Tapi di sisi lain, beliau juga takut harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT.

Beliau mengajak kami bersama-sama menghitung baik buruknya, di samping untung ruginya masing-masing sebuah pilihan. Seingat saya, jurusan akhirnya memilih tidak mengambil bantuan tersebut.

Dalam momen tersebutlah, awal kekaguman saya kepada sang ketua Jurusan yang belakangan jadi orang tua angkat saya dan beberapa mahasiswa “miskin” lainnya, DR. Umar Ibrahim Assegaf.

Pernah satu waktu saya dicari-cari staf jurusan dan dipanggil ke ruang Kajur. Ketika saya menghadap ustaz Umar, demikian kami memanggil beliau, dengan pandangan simpati penuh kasih, beliau bertanya, “Iftah, saya minta kamu setiap hari Senin menghadap saya ke sini..?”

Saya kaget, “Ada apa Ustaz? Apa salah saya..?”

“Salah kamu, nggak punya duit nggak bilang-bilang…”

“Dari mana Ustaz tau saya tidak punya uang..?” kata saya pelan.

“Saya tadi melihat kamu berjalan kaki di sekitar Makam Haji (sebuan nama jalan/desa dekat Kartasura). Saya perhatikan kemudian ternyata beberapa hari ini kamu pulang pergi kuliah jalan kaki… Ini uang buat naik bis kota seminggu. Senin depan saya akan kasih lagi… Jangan sungkan…”

Saya berusaha mengelak, “Maaf Ustaz, saya punya uang cuma lagi pengin jalan kaki aja. Sekalian olahraga..”

“Sudahlah.. ambil saja.. saya pernah jadi mahasiswa sepert kamu.. Mana ada anak muda mau olahraga tiap hari jalan kaki 18 kilometer PP tengah hari bolong…  Kamu pasti kehabisan uang kan… Ambil.. jangan sungkan.. dan jangan jalan kaki lagi…”

Mata saya basah, Demi Allah beliau terlihat sangat tulus…

Setelah satu dua kali mengambil jatah ongkos buskota seminggu, saya tidak pernah menghadap beliau lagi di kantornya. Saya malu terus menyusahkan beliau. Saya masih tetap jalan kaki dari Pesantren Mangkuyudan tempat saya ngenger, sampai ke kampus Pucangan di Kartosuro, tapi tidak lewat pinggir jalan raya. Saya blusukan lewat gang-gang kecil. (Selain ustaz Umar, ada seorang teman kuliah lain yang juga pernah ngasih saya uang waktu saya jalan kaki ke kampus. Maturnuwun, Sungguh saya tidak akan pernah lupa: Yu Kaji)

Sejak itu kami dekat. Saya sering main ke rumah beliau di Mangkuyudan. Baik sekadar numpang makan, diskusi, curhat, sampai belajar menerjemahkan kitab-kitab yang kemudian dijadikan buku.  Buku pertama yang saya ikut  membantu beliau menerjemahkan yang, kemudian sempat terbit adalah “Tasawuf hitam putih” terjemahan dari Abjadiyah Tashawwuf.”

Ketika saya hijrah ke Jakarta dan mulai bekerja, saya sempat  beberapa kali sowan ke beliau di Ciputat. Saya juga sempat menulis profil beliau di majalah Alkisah tempat saya bekerja pada tahun 2005-2008.

Ketika menikah, kami minta beliau memberikan nasehat perkawinan. Juga menjadi orang pertama yang kami sowani, setelah kyai pengasuh pesantren tempat saya ngenger.

Saat saya menganggur, usai di-PHK, beliau menawari saya membantu di yayasan yang beliau kelola yang menaungi beberapa rumah yatim.

Terakhir, saya sowan beliau bebrapa tahun lalu saat beliau baru saja diserahi amanah mengasuh pesantren Baituna di Ciputat. Dan ustaz Umar saat itu, masih seperti ustaz Umar yang saya kenal belasan mungkin dua puluhan tahun lalu.  Rendah  hati, ramah, dan tulus.

Beliau sering telpon dan WA ndawuhi sering-sering main ke rumah beliau. Satu hal yang saya sesali sampai sekarang: belum bisa saya penuhi.

Ustaz Umar adalah Doktor di bidang tasawuf, disertasinya tentang Thariqah Alawiyah: Napak Tilas dan Studi Kritis atas Sosok dan Pemikiran Allamah Sayyid ‘Abdullah Al-Haddad Tokoh Sufi Abad ke-19 yang kemudian diterbitkan Mizan Pustaka 2001. Banyak hal baik yang saya pelajari dari beliau: kemurahan hati, ketulusan, dan kepedulian kepada sesama.  Bagi saya, sebelum saya bertemu dan ngaji kepada Mursyid Thariqah saya saat ini,  beliau lah yang banyak mengajari saya akhlak.

Di tangan dan lisan beliau ajaran sufisme begitu hidup. Lebih mudah dicerna. Karena, saya melihat contohnya di depan mata saya. Dalam gerak-gerik dan gaya bicara yang santun ustaz Umar.

Beliau orang yang rendah hati dalam arti yang sesungguhnya. Ketinggian nasab, tidak membuat beliau sombong. Beliau selalu merendah, kita ini sama-sama umat Rasulullah yang butuh syafaat beliau.

Saya sangat gembira ketika salah satu saya kawan, mengirim video beliau sedang berbaiat dan menerima ijazah Thariqah Syadziliyah dari guru saya di Pekalongan.

Dan sore ini menjelang Maghrib saya mendapat kabar ustaz Umar berpulang. Saya tidak langsung percaya. Jangan-jangan ini salah berita, tentang ibunda beliau yang juga baru wafat 2-3 hari lalu. Saya telpon beberapa teman di Ciputat untuk mengkonfirmasi kebenaran berita. Ketika kemudian berita dikonfirmasi oleh Umi, istri beliau, saya pun terduduk lemas.

Ustad Umar sering menceritakan tentang ibunya. Cerita indah seorang putra yang sangat sangat mencintai orang tuanya. Cerita yg sering membuat saya iri, ingin rasanya punya anak se-berbakti beliau. Dan, sore ini, orang baik yang kebaikannya disaksikan banyak orang itu kembali ke hadirat ilahi, mengawal ibundanya tercinta. Ustaz tidak ingin terlalu lama berjauhan dengan ibunya.

Selamat jalan ustaz Umar… Saya bersaksi atas kebaikan hatimu.. kebaikan sikapmu.. kebaikan lelaku hidupmu… Juga atas kecintaanmu kepada orang-orang yang sedang kesusahan : anak yatim, orang miskin dan umat manusia.

Selamat jalan ustaz Umar… Sang Sufi sejati…

Iftah Deh

Alumnus STAIN Surakarta, 2002.

Komentar