Jarum jam telah menunjuk angka 14.40 Wib. Sudah sekitar 15 menit Mbah Kyai pamit untuk mandi. Hakim menunggu dengan hikmat di ruang tamu. Dalam raut wajahnya sama sekali tak tergurat rasa jenuh sedikitpun. Apalagi rasa mengeluh atau menggerutu karena terus diminta untuk menunggu. Baginya, apa yang di-dawuhkan Mbah Kyai harus ditaati dengan sepenuh hati. Sebab, beliau adalah sang pendidik ruhnya, yang menunjukkan jalan untuk menggapai Ridla-Nya.

Selama menunggu kedatangan Mbah Kyai, untuk mengisi waktu dan supaya pikirannya tidak melayang kemana-mana, Hakim menikmati hidangan yang telah disuguhkan di depannya. Selain buah rambutan yang barusan dipetik dan disuguhkan oleh Mbah Kyai, terdapat tiga piring lain yang berisi makanan serba kolopendem. Satu piring yang berada di samping kanan nampan rambutan, berisikan singkong rebus, satu piring di samping kanannya berisikan mbote rebus, dan satu piring lagi yang berada sisi paling kanan berisikan kacang rebus. Hakim tahu, bahwa semua suguhan itu tidak lain adalah hasil kebun Mbah Kyai. Beberapa hari yang lalu, Hakim ikut memanennya.

Tanah milik Mbah Kyai bisa dikatakan luas, jika dibandingkan dengan umumnya tanah milik masyarakat sekitar. Namun, yang dijadikan kebun hanyalah sedikit, sekitar 500 meter persegi. Sisanya untuk bangunan masjid, ndalem, dan pemondokan para santri. Kebun itu terletak di belakang pondok putri, yang dibangun berdempetan dengan ndalem. Sisi depan ndalem terdapat halaman yang tergolong luas sampai jalan raya. Di sisi kiri dan depan halaman tersebut, berjajar beberapa pohon buah-buahan. Mulai dari rambutan, mangga, jambu biji, sirsat, hingga pohon kelapa. Kemudian, di sisi kanan halaman tersebut, berdiri masjid sederhana yang berbentuk seperti umumnya masjid-masjid jawa. Secara berurutan dari depan, terdapat teras atau emperan, serambi, dan kemudian ruang inti masjid yang diapit gotakan di sisi kanan dan kirinya.

Di belakang masjid persis, tepatnya di belakang imaman, terdapat bangunan terpisah yang berbentuk seperti masjid kecil dengan tanpa dinding. Di sisi tengah bangunan kecil itu, terdapat beberapa makam yang di atas gundukan tanah antara dua batu nisannya tak lekang dengan taburan bunga setaman segar. Hakim sering di-timbali Mbah Kyai untuk menaburkan bunga baru di atasnya, ketika bunga yang lama sudah mengering. Bangunan ini sering disebut dengan maqbarah masyayikh. Makam-makam tersebut adalah makam para kyai dan bu nyai sepuh, yang tak lain adalah ayahanda dan kakek Mbah Kyai. Kemudian, sisi selatan, barat, dan utara masjid dan maqbarah, berjejer bangunan-bangunan kecil yang terbuat dari kayu dan bambu yang diperuntukkan untuk pemondokan para santri putra.

kang Hakim, monggo pisangnya dimakan!” Gus Bangkit masuk ruang tamu dengan membawa buah pisang yang ditaruh di atas nampan.

inggih Gus” Hakim menjawab. Sebelum rasa kagetnya hilang karena Gus bangkit masuk secara tiba-tiba, Gus Bangkit kembali masuk ke ruang dalam ndalem. Kemudian, ia keluar kembali dengan membawa nampan lagi yang didalamnya terdapat satu teko dan empat gelas kosong yang masih tengkurap. Lalu, Gus Bangkit mengisi dua gelas, satu untuk dirinya dan satunya lagi untuk Hakim.

Kulo mawon Gus” dengan posisi seperti orang yang hendak merebut, Hakim memohon kepada Gus Bangkit untuk menyerahkan pengisisan air minum itu kepada dirinya. Hakim merasa bahwa yang pantas untuk pekerjaan itu adalah dirinya, bukan Gus Bangkit. Gus Bangkit adalah salah satu orang yang amat ia hormati dan muliakan, karena ia adalah putra dari Mbah Kyai. Oleh sebab itu, bagi Hakim Gus Bangkit adalah salah satu orang yang harus ia layani, bukan malah melayani.

mboten kang, kulo mawon” Gus Bangkit menolaknya dengan halus.

kata Abah tadi, kulo disuruh untuk melayani jenengan dengan baik Kang. Karena jenengan sekarang posisinya sebagai tamu dan kulo sebagai yang ditamui”. Gus Bangkit memberi penjelasan.

Mendengar penjelasan Gus Bangkit, Hakim mengurungkan niatnya dan kembali pada posisi duduknya semula. Selain ia menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh Gus Bangkit adalah sikap taat seorang anak kepada perintah orang tuanya yang memang wajib dilakukan, ia juga sadar bahwa sikap hormat tamu adalah salah satu yang diperintahkan agama. Ia teringat penjelasan salah satu hadis Nabi dalam Kitab Arba’in Nawawi. Tepatnya adalah bagian terakhir dari hadis nomor lima belas. Potongan hadis tersebut menyatakan bahwa “dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka seharusnya memuliakan tamunya”. Mbah Kyai dulu, ketika menjelaskan potongan hadis itu mengutip nasehat Nabi kepada Ali bin Abi Tholib dalam Kitab Washiyat al-Musthofa.

Dalam penjelasan kitab tersebut, Nabi menasehati Ali agar supaya memuliakan tamu. Karena, lanjut Nabi, ketika tamu datang itu membawa rezeki dan ketika pergi membawa dosa pemilik rumah yang kemudian membuangnya ke laut. Nabi juga menjelaskan bahwa malaikat rahmat tidak akan memasuki rumah yang tidak pernah kedatangan tamu. Mengingat penjelasan-penjelasan ini, Hakim menyadari dan memaklumi apa yang dipesankan Mbah Kyai kepada Gus Bangkit.

Setelah kedua gelas terisi penuh, dengan posisi tubuh setengah berdiri bertopangkan kedua lutut dan sedikit membungkuk, tangan kanan Gus Bangkit meletakkan gelas yang baru saja ia isi ke depan Hakim.

silahkan diminum Kang, maaf cuma teh” Gus Bangkit mempersilahkan dengan sedikit basa-basi.

inggih Gus, ini sudah amat cukup” Hakim menjawab. Setelah selesai menjawab, dengan tanpa jeda Hakim langsung mengambil gelas yang satunya dan meletakkannya di depan Gus Bangkit yang baru saja selesai mengatur posisi duduknya.

terima kasih kang, kok malah saya jenengan ambilkan, kan saya bisa ambil sendiri” tanya Gus Bangkit agak sedikit kaget.

kan saya juga kepingin mendapatkan pahala Gus,” jawab Hakim sambil tersenyum.

Mendengar jawaban Hakim, Gus Bangkit ikut tersenyum. Kendatipun Gus Bangkit masih tergolong belia, masih berusia tujuh tahun, namun ia terkenal sebagai orang yang cerdas dan tekun dalam belajar. Sehingga, ia sangat tahu alasan kenapa Hakim melakukan hal seperti itu. Gus Bangkit juga terbilang orang yang paham betul tentang tatakrama sopan santun hingga detail-detailnya. Tata krama sekecil bagian gelas mana yang seyogyanya dipegang ketika menyuguhkannya kepada orang lain pun ia mengetahuinya. Jika dalam penyuguhan air minum terdapat lepek, maka tata kramanya yang dipegang adalah lepek-nya. Jika tidak ada lepek, namun gelasnya ada gagang pegangannya,  maka yang dipegang adalah gagangnya. Jika tidak ada lepek dan gelas tidak bergagang, maka yang dipegang adalah sisi bawah dinding gelas, bukan bibir gelas. Karena bibir gelas adalah tempat dimana bibir orang yang minum akan menempel. Jadi secara tata krama posisi itu tidak etis jika tersentuh tangan, apalagi tangah orang lain. Inilah yang dilakukan oleh Gus Bangkit dan Hakim ketika saling menyuguhkan tadi.

Setelah peristiwa saling menyuguhkan itu, keduanya melanjutkan dengan bincang-bincang. Sesekali mereka terlihat tersenyum bahkan tertawa lepas. Memang, Hakim dulu merupakan salah satu khadim ndalem yang sering ditugasi momong Gus Bangkit. Sehingga ia tahu banyak tentang masa kecil Gus Bangkit, baik keluguan, kenakalan, maupun kejailannya. Ketika Hakim menceritakan sisi kejailannya di masa kecil, Gus Bangkit tertawa dan kemudian Hakim pun ikut tertawa. Perbincangan terus berjalan dengan riang dan cair. Raut wajah mereka pun menampakkan kebahagiaan. Perbincangan mereka bak perbincangan seorang kakak dengan adiknya yang telah lama tak bersua.

Bersamaan dengan itu, situasi di luar ndalem nampak lengang. Hanya nampak beberapa santri melintas di halaman ndalem. Mereka berjalan dengan cepat dan dengan kepala menunduk mengarah ke masjid. Tangan kanan mereka membawa kitab kuning yang dibungkus dengan sajadah dan didekapkan ke dada sisi kanan. Memang begitulah adab para santri ketika membawa kitab atau al-Qur’an. Mereka dididik untuk memuliakan ilmu dan tempat ilmu, apalagi kitab suci. Oleh sebab itu, mereka selalu memosisikannya ditempat yang tinggi. Ketika membawanya, mereka akan memosisikannya di tempat yang berada di atas pusar. Biasanya di dada sisi kanan, namun adapula santri yang membawanya dengan cara di-sunggi di atas kepala. Selain itu, guna memuliakan ilmu, ketika membawa kitab santri dianjurkan untuk dalam keadaan suci hadas. Oleh sebab itu, ketika membawa kitab mereka membungkusnya dengan sajadah atau serban. Hal ini mereka lakukan untuk berjaga-jaga andai saja ditengah jalan mereka berhadas. Adab ini, nampaknya diikutkan dengan adab membawa al-Qur’an, yaitu seseorang boleh membawa al-Qur’an dalam situasi tidak punya wudlu dengan cara mencampurkannya dengan barang lain, dan berniat tidak berniat membawa al-Qur’an, namun membawa barang lainnya itu.

Di Masjid, nampak banyak santri yang berdatangan. Sebagian terlihat melakukan sholat sunnah, membaca al-Qur’an, nglalar nadzam, dzikir dan ada pula yang sedang wudlu di jedingan yang berada di sisi utara masjid. Mereka semua nampak sedang menunggu sholat berjama’ah. Betul, tak lama kemudian salah satu santri mengumandangkan adzan sholat ‘Ashar. Dalam waktu bersamaan, semua kegiatan para santri di masjid berhenti. Sebagian ada yang tetap diposisinya, sebagian ada yang berpindah menuju ruang utama masjid.

Begitupun dengan Hakim dan Gus Bangkit di ruang ndalem. Karena jarak ndalem dengan masjid tidak terlalu jauh, suara adzan sangat keras terdengar. Suasana yang tadinya begitu ramai penuh gelak tawa, kini berubah hening. Mendengar suara adzan, Hakim dan Gus Bangkit seketika diam mematung. Hanya bibir mereka yang nampak bergerak komat-kamit menjawab seruan adzan. Setelah selesai adzan, mereka menengadahkan kedua tangan setinggi bahu, melafalkan do’a setelah adzan, dan menutupnya dengan mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah mereka.

alhamdulillah” ucap Hakim dan Gus Bangkit hampir bersamaan.

Kim, kita sholat jama’ah di Masjid dulu ya, nanti kita lanjutkan. Ajak Mbah Kyai yang tanpa disadari oleh Hakim dan Gus Bangkit telah masuk ke ruang tamu.

ing…inggih Mbah Kyai” jawab Hakim sedikit terbata-bata karena kaget.

Dengan sikap seperti para santri ketika berjalan di halaman depan ndalem tadi, Hakim dan Gus Bangkit yang masih memiliki wudlu kemudian mengikuti Mbah Kyai dari belakang menuju masjid. Di Masjid, para santri sudah siap dalam shaf sholat. Melihat Mbah Kyai sudah sampai di ruang utama masjid dan sudah selesai melaksanakan Shalat Tahiyatul Masjid serta Shalat Qabliyah dua raka’at, santri yang sedang melantunkan puji-pujian langsung berdiri menghadap kiblat dan melakukan iqamah. Setelah selesai dan semua shaf jama’ah sudah lurus dan rapat, Mbah Kyai memulai shalat.

Allaaaaahu Akbar” Mbah Kyai membaca takbiratul ihram.

Allaaaahu Akbar” Salah satu santri yang bertugas sebagai bilal mengulangi takbiratul ihram Mbah Kyai.

Gemuruh suara bacaan takbiratul ihram para jama’ah seketika mengikuti. Gerakan demi gerakan dan rukun demi rukun shalat terus berjalan. Suara melengking bilal yang mengulangi tiap ‘aba-aba’ berpindah gerakan shalat Mbah Kyai selaku imam, pun terus terdengar hingga lafal salam kedua. Setelah prosesi shalat selesai, dilanjutkan dengan membaca wirid ba’da shalat dan aurad khas pondok pesantren yang digubah oleh Mbah Kyai sepuh. Hakim, Gus Bangkit, dan semua santri terlihat hikmat dan khusuk mengikuti. Sesekali, tubuh mereka nampak bergoyang ke kanan dan ke kiri karena menikmati ladzatul dzikri.

……

bersambung ….

Komentar